PENDAHULUAN
Pendidikan
yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang
maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa
mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera
adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.
Sementara itu, pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru
yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Tujuan
utama diterapkannya program sertifikasi guru, termasuk terhadap guru pendidikan
jasmani, adalah meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan semakin
meningkat. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam
upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru
yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman,
2007; Rink, 2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik
(Siedentop & Tannehill, 2000). Keberadaan guru yang bermutu merupakan
syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sejumlah
negara, misalnya Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat,
berusaha mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang
berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan adalah intervensi langsung
menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru
yang memadai dengan melaksanakan sertifikasi guru.
PEMBAHASAN
Pendidikan Jasmani
Pendidikan Jasmani, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan
istilah lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, merupakan
salah satu mata pelajaran yang disajikan di sekolah, mulai dari SD sampai
dengan SMA. Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara
keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani,
keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial,
penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup sehat dan
pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang
direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (CDC,
2000; Disman, 1990; Pate dan Trost, 1998).
Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan
kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi dalam aktivitas fisik
dan olahraga yang sekaligus juga merupakan kontributor penting bagi
kesejahteraan dan kesehatan siswa (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and
Laraine, 1994; Stran and Ruder 1996; CDC, 2000). Untuk itu tidak mengherankan,
peningkatan kualitas dan efektivitas proses belajar mengajar (PBM) Pendidikan
Jasmani selalu menjadi fokus perhatian semua pihak yang peduli terhadap
pendidikan.
Peran Guru dalam Pembelajaran
Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani
sebagaimana diuraikan di atas secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu
memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi
mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah
ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada
saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus pada perilaku mengajarnya itu
sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi utama guru pada saat
melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions occupy most of
the attention of physical educators as they teach: managing students, directing
and instructing students, and monitoring/supervising students”
Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang
ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar,
mengarahkan formasi atau peralatan, memelihara rutinitas baik yang bersifat
akademis maupun non akademais termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing
and instructing students meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok,
dan kegiatan penutup. Monitoring merujuk pada perilaku observasi guru terhadap
siswa secara pasif, sedangkan supervising merujuk pada perilaku guru yang
ditujukan untuk memlihara siswa tetap aktif belajar seperti mengarahkan,
mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial (behavioral interactions)
maupun penampilan belajar siswa (skill interactions).
Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar
mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut,
“identifying outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the
learning environment, monitoring the learning environment, developing the
content, and evaluating”.
Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun keduanya
sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu
pada saat menjalankan siklus Movement Task-Student Response to Task hingga
fungsi lainnya seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan
pendapat yang kedua lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan
(identifikasi hasil belajar dan perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses
pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal mengingat siklus Movement Task-Student
Response to Task merupakan bagian kritis dari proses pembelajaran sehingga
fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar (teaching skills) yang pokok
seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.
Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru
dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara
efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang
akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang
diketahui (what they know), apa yang diyakini (what they believe), minat
(interest), keterampilan (skills), dan kepribadian (personality) gurunya itu
sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Ring (1993) mengenai fungsi mengajar
yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang ditampilkannya pada saat
mengajar daripada hanya sekedar terpokus pada “perilaku” mengajarnya itu
sendiri.
Walaupun para guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan
berbagai teknik dan keterampilan mengajar, kriteria dan prinsip efektivitas
pembelajaran yang sifatnya umum masih tetap bisa dibuat, misalnya: penyampaian
tugas gerak yang baik membuahkan siswa memahami cara melakukannya demikian juga
tujuannya. Hal ini perlu diketahui oleh setiap guru sebagai alat untuk
mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran yang dilakukannya. Demikian juga
berbagai teknik dan keterampilan mengajar perlu diketahui dan dimiliki para
guru agar dapat diterapkan dan disesuaikan dengan konteks tempat mereka
mengajar Pendidikan Jasmani.
Waktu Aktif Belajar Dan Jumlah Siswa Aktif (%) Dalam Pembelajaran Pendidikan
Jasmani
Secara umum, dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa rerata proporsi
waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40% merupakan
indikator yang termasuk dalam katagori baik. Oleh karena kompetensi pedagogis
guru pendidikan jasmani termasuk kategori bagus. Namun demikian apabila
dianalisis berdasarkan masa kerja terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja,
maka semakin menurun kompetensi pedagogisnya. Kondisi yang demikian sudah
merupakan suatu ironi. Lazimnya, masa kerja berbanding lurus dengan kemampuan
yang dimiliki. Ada kemungkinan hal ini terjadi karena kurang efektifnya
mekanisme evaluasi dan supervisi pelaksanaan pembelajaran. Longgarnya sistem
tersebut seolah memberikan peluang bagi guru untuk melakukan tugas tidak
sebagaimana yang dituntut.
a.
Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru dalam penguasaan
materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini diukur dengan
menggunakan angket yang berisi tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang diperoleh pada saat pre-service training dan in-service training. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kompetensi profesional pada saat pre-service, yakni
ketika mereka ada di perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang, yakni sebesar
52,78% dan hanya 5,56% yang menyatakan memadai. Kondisi tersebut sungguh sangat
memprihatinkan. Jika pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan sebagai
bekal menjalankan profesi guru masih jauh dari apa yang diharapkan, bisa
dibayangkan bagaimana mereka dapat menjalankan tugas secara profesional. Sudah
barang tentu, hal ini menjadi catatan penting bagi Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) yang notabene mencetak calon-calon guru. Minimnya
pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training tampaknya juga berpengaruh
pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11% menyatakan
bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara profesional.
Mereka yang menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78% yang
menyatakan sangat layak. Ketika mereka ditanya bekal apa saja yang dirasa
kurang? Sebesar 22,73% menyatakan kekurangan dalam bidang keilmuan; 27,27%
merasa kurang dalam hal teaching skill; dan 25% menyatakan kekurangan dalam hal
substansi cabang olahraga. Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat di
Perguruan Tinggi Logikanya, ketika bekal matakuliah dari perguruan tinggi
dirasa masih sangat kurang, mestinya para guru diberi kesempatan seluas-luasnya
untuk akses terhadap upaya peningkatan kompetensi profesionalnya. Sayangnya,
hal itu tidak terjadi. Justru dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa 83,33%
mereka menyatakan sangat kurang mendapatkan akses. Sebanyak 13,89% menyatakan cukup
dan 0% menyatakan memadai. Ironi memang! Tetapi itulah realitas yang terjadi.
b.
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merujuk pada kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang
menyedihkan adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi
kepribadian. Semakin lama masa kerja, semakin menurun kompetensi
kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua aspek, mulai dari kejujuran,
kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi. Tampaknya, hasil ini linier
dengan kompetensi pedagogis sebagaimana dikemukakan di atas. Hal ini semakin
meneguhkan bahwa mereka, dalam hal ini guru pendidikan jasmani, kurang
mendapatkan pembinaan yang memadai. Perlu diberi catatan di sini bahwa guru
pendidikan jasmani merupakan komunitas dengan ciri khusus. Komunitas tersebut
memiliki solidaritas yang tinggi, ikatan moral yang longgar, dan pragmatis.
Solidaritas tanpa diikuti bimbingan moral memiliki kecenderungan untuk
melahirkan tindakan-tindakan yang dari perspektif kepribadian kurang terpuji.
Misalnya karena alasan pertemanan rela melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kejujuran, kedisiplinan, dan keterbukaan. Demikian juga
dengan semangat pragmatisme yang mengedepankan prinsip ”pokoknya jalan” pada
gilirannya cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap
etos kerja dan inovasi.
c.
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi
sosial? Sebagaimana yang terjadi pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada
kompetensi sosial. Penjelasan yang diberikan pada kompetensi kepribadian dapat
juga diterapkan pada konteks kompetensi kepribadian.
Gambaran Penggunaan Waktu oleh Guru Pendidikan Jasmani
Persoalan lain terkait dengan kondisi kualitas guru pendidikan jasmani
adalah bagaimana mereka menggunakan waktu. Penggunaan waktu merupakan cerminan
bagaimana seseorang mengisi hidupnya dengan aktivitas-aktivitas yang berdampak
bagi dirinya.
Menurut Jansen (1995), secara garis besar penggunaan waktu dibagi ke
dalam tiga kategori besar, yakni waktu untuk kebutuhan dasar (existence time),
waktu produktif (subsistence time), dan waktu rekreatif (free time) yang
masing-masing secara berturut-turut alokasinya adalah 10 jam, 9 jam, dan 5 jam.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan waktu guru pendidikan
jasmani relatif optimal, apalagi terkait dengan penggunaan waktu produktif.
Bagaimana halnya dengan penggunaan waktu yang terkait dengan peningkatan
profesionalisme? Dari data lapangan ditemukan bahwa angkanya sebesar 0,7 jam
atau 42 menit per hari pada kelompok subjek masa kerja lima tahun ke bawah.
Sementara itu pada kelompok subjek masa kerja sepuluh tahun ke atas sebesar 0,4
jam atau 24 menit per hari.
Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana peningkatan pengetahuan
yang diperoleh. Yang jelas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi jika
dalam waktu tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Kondisi yang demikian
tentu sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya waktu yang digunakan oleh
seseorang untuk mengerjakan sesuatu merupakan indikator penting bagaimana orang
yang bersangkutan berkomitmen kepada profesinya.
KESIMPULAN
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas guru pendidikan jasmani
masih sangat memprihatinkan, terutama pada kompetensi profesional, kepribadian,
dan sosial. Secara lebih khusus dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Kompetensi
pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari waktu aktif
belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran.
2. Kompetensi
profesional pada saat pre-service maupun in-service dirasa masih sangat kurang.
3. Kompetensi
kepribadian guru relatif tinggi. Kompetensi kepribadian guru dipengaruhi oleh
masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi kepribadiannya.
4. Kompetensi
sosial guru relatif tinggi. Kompetensi sosial guru dipengaruhi oleh masa kerja,
semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi sosialnya.
Gambaran penggunaan waktu dalam sehari, sebanyak 8,5 jam untuk kebutuhan
dasar; 12,05 jam untuk kegiatan produktif; dan 3,45 jam untuk kegiatan
rekreatif. Dan Pemanfaatan waktu untuk pengembangan profesionalisme guru
pendidikan jasmani masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari.
Guru dengan masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan
kebutuhan dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung
memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif.