Jabal Musa: 2750 Trap Curam Menuju Tangis

on Selasa, 18 September 2012

Kalau tidak karena ada Nabi Musa di puncak sana, tak maulah capek-capek naik ke Gunung Katerina alias Jabal Musa. Dari pos berhentinya bis menuju awal pendakian gunung yang pertama saja mending jalan kaki Jombang-Surabaya. Setelah itu harus mendaki jalan naik rata-rata 30 derajat, berkelok-kelok, melintir-melintir seperti menelusuri badan ular raksasa yang amat sangat panjang — ular raksasa yang meliliti dua gunung.
Jalanan sangat kering, debu dan batu-batu. Mungkin ada satu dua helai rumput berwarna coklat kering, tapi jangan bayangkan ada warna hijau, jangan berharap ada satu tanaman atau apalagi pepohonan yang rimbun sebagaimana gunung-gunung di tanah air.
Udara sangat dingin, angin berhembus menusuk-nusuk tulang. Semakin ke atas semakin deras angin menyerbu. Semakin ke atas semakin mendekati titik beku — sekitar 2 atau 3 derajat Celcius. Siapakah rombongan gila yang mendaki gunung Musa di musim dingin ini? Apakah mereka pendaki-pendaki gunung yang berpengalaman? Kenapa tidak menunggu musim panas, agar badan tidak membeku? Apakah mereka berpakaian rangkap 18? Apakah mereka menyangka angin Firaun tidak mampu menembus 18 lapisan kain tebal? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka kepanasan di Cengkareng?
Di ujung ekor sang ular di leher gunung yang kedua, tiba-tiba, sesudah ada lorong panjang yang membelah batu-batu raksasa — terdapat jalanan yang menurun. Semua warga Kiai Kanjeng bersorak-sorak! Sesudah pendakian sangat panjang yang sangat melelahkan dan mencopot dengkul — kini jalanan sudah menurun, berarti inilah puncaknya!
Mereka menghentikan langkah, duduk di batu-batu sekenanya, atau menyandarkan punggung, Yudi bahkan langsung melingkar, tidur, dan mengorok. Di beberapa bagian jalanan, ketika rombongan beristirahat — Yudi punya keahlian sendiri: ada beberapa menit istirahat ia gunakan untuk mengorok. Luar biasa bahagia hidupnya.
Tapi ternyata rombongan itu GR. Di ujung jalanan yang sedikit menurun itu tampak samar-samar ada jalanan batu-batu sangat curam yang menaik sampai ke langit…
Rombongan masih harus mendaki gunung ketiga, gunung yang sebenarnya. Kaki mereka yang rasanya bukan hanya sangat pegal-pegal tapi juga rasanya sudah tidak ada kaki — masih harus mendaki trap-trap batu curam 60 derajat ke atas sebanyak 2750 trap Mampus mampuslah mampus. Almampusu malmampusu wama adroka malmampus…ini benar-benar kal-ihnil manfuuuusss….
Kalau sesudah mendaki dua gunung lantas di 2750 trap ini Anda sanggup menapak naik langsung sampai 20 langkah tanpa berhenti, berarti Anda belum punya penyakit dalam dan kaki Anda masih bisa dipakai untuk pertandingan sepakbola. Kalau Anda keberatan perut, jantung tidak fresh, atau ada suatu penyakit dalam tubuh — berhentilah sebelum naik trap, cari onta dan suruh dia mengantarkan Anda turun ke bumi.
Kalau 10 langkah berhenti 10 langkah berhenti masih bisa, cobalah mendaki sampai tuntas. Saya dirahmati Allah karena berjalan bersama Ustadz Jamal dari Departemen Kebudayaan Mesir, yang badannya besar dan agak gemuk sehingga sangat kecapekan dan sangat lamban mendaki. Bersama kami juga ada Ustadz Muhammad Nur Shamad, Atdikbud KBRI yang juga selemah saya. Tidak tega saya meninggalkannya. Nanti pasti saya akan kalah duluan sampainya ke puncak — dan saya punya alasan: “Aduh saya tidak tega sama Ustadz Jamal….”. Padahal saya bersyukur mendaki bersamanya, karena kalau beberapa langkah beliau berhenti, saya juga bersyukur punya alasan yang indah untuk berhenti. Seakan-akan saya toleran kepadanya, padahal saya memang benar-benar capek.
Mbak Via bahkan termasuk juara pertama bersama Bobiet, Cak Fuad dan Irfan. Para juara ini menempuk perjalanan sekitar 4,5 jam, sempat shalat subuh di puncak, sementara lainnya ada yang 5 jam ada yang 5,5 jam.
Ananto, Bayu dan Jijit tidak ikut mendaki karena dalam keadaan sakit. Nia, Yuli dan Roh, juga mengambil keputusan yang arif: tidur di penginapan, sebab kalau sampai putri-putri ini ikut naik, lantas resikonya harus digotong pulang dari atas gunung — siapa yang akan kuat menuruni gunung seram dan medan sangat berat itu dengan menggendong orang lain?
Yang mengagumkan adalah bahwa SP Joko dan Islamiyanto sanggup menuntaskan perjuangan sampai puncak. Seabagaimana Yudi, Islami juga banyak menyempatkan diri untuk tidur di pos-pos peristirahatan. Sp Joko ternyata diberi tenaga oleh Allah melalui calon anaknya: “Hari ini adalah HPL kelahiran anak saya, sehingga saya berniat tirakat sampai tuntas demi anak saya….”
Rahmat sempat naik onta di gunung pertama dan kedua. Semula ia memang berniat tidak berangkat, tapi setengah saya paksa untuk pergi dari penginapan. Di leher gunung kedua ia juga sudah memutuskan untuk tidak meneruskan, tapi saya paksa dan saya pelototi. Akhirnya ia sukses sampai ke puncak, dan bahkan turunnya berlari menuruni tiga gunung.
Nevi merasa jari-jarinya lenyap karena berani-beraninya tidak pakai sarung tangan. Joko Kamto berwirid sepanjang pendakian “YaaHu YaaHu Yaahu…” dan tercapai. Giyanto dan Ardani terbiasa hidup keras di desanya. Yoyok dan semua teman lainnya tidak pernah kehabisan alasan untuk ndagel dan mengejek diri mereka sendiri sehingga lulus dengan penuh kegembiraan.
Pakde suntuk khusyu menghayati sesuatu di dalam dirinya dan hanya ia yang tahu kenapa untuk menaklukkan sesuatu itu ia mendaki tiga gunung tanpa memakai sepatu atau sendal melainkan hanya pakai kaos kaki. Dan, tentu saja, Pakde, gelandang kesebelasan MAS ini lulus dengan mulus.
Bobiet menjadi salah satu juara karena sejak di Jogja dia sudah mematerikan niat bulat istiqamah total bahwa ke manapun KiaiKanjeng pergi ia mewajibkan dirinya untuk berdiri di depan dan tidak akan membiarkan dirinya berputus apa oleh apapun juga.
Cak Fuad punya metode sendiri. Ia sangat stabil berjalan naik dan berjalan turun. Konstan, tidak ada keluhan, tidak tersendat-sendat. Rupanya diam-diam ia mempraktekkan bahwa ketika naik 2750 trap curam itu kalau berjalan miring ternyata lebih ringan dan tidak sangat kelelahan. Di puncak Jabal Musa Cak Fuad mewawancarai penjual wedangan….Bagaimana orang ini kok jualan teh kopi di puncak gunung? Kita membawa badan kosongan saja mau mati rasanya, lha dia membawa semua peralatan warungnya ke sini bagaimana caranya?
“Bapak ini bukan hanya seorang penjual minuman. Dia mengerti sejarah, hapal ayat-ayat dan memiliki logika berpikir yang tidak kalah dibanding profesor-profesor ilmu Agama di Indonesia. Dua minggu dia jualan di atas, dua minggu ia bersama keluarganya di bawah sana….”
Yang Cak Fuad tidak mengerti adalah Mbak Via itu mendaki demikian beratnya, bawa kamera, dan sepanjang pendakian terus omong bercerita-cerita dan melucu. Padahal omong satu kalimat saja irama napas akan terganggu karena sepanjang 5 jam itu kami semua dalam keadaan tersengal-sengal.
Dan ketika kami maiyahan di Musholla, setapak di atas tempat Nabi Musa AS bertapa melakukan uzlah 40 hari — Mbak Via untuk pertama kalinya berbicara agak panjang. Sambil menangis mengguguk-guguk, dan memang semua yang berbicara pagi itu di puncak Jabal Musa, tak seorangpun yang tak menangis. Mbak Via menyatakan rasa syukur kepada Allah bahwa delapan tahun terakhir dalam hidupnya ini Allah menganugerahkan pengalaman, nilai-nilai, kebahagiaan dan segala sesuatu yang luar biasa nikmatnya — yang tak mungkin ia dapatkan jika ia menjadi artis di Jakarta.
Memang demikian pulalah yang diperoleh oleh Kiai Kanjeng….pengalaman-pengalaman sosial, spiritual, kultural, yang luar biasa, yang sangat luas skalanya, yang sangat multi-dimensional. Tidak sebagaimana layaknya grup musik. Jangankan ketika di Indonesia: maiyahan dan main musik di pinggir hutan bersama blandong-blandong, di Dolly tempat pelacuran terbesar se Asia Tenggara, di hotel-hotel mewah, di gedung-gedung tinggi, di kalangan jetset, di desa-desa terpencil, di kampung-kampung kumuh di mana tempat sampah disulat menjadi panggung, di tambah ikan, di perahu antar pulau, di pesawat, di gunung-gunung, bersama pejabat dan tukang becak, bersama pengusaha dan preman-preman….
Bahkan selama di Mesir KiaiKanjeng berjumpa dengan penonton umum di Cairo, pelajar-pelajar dari TK sampai universitas di Ismailia, para VIP di Alexandria, mengiringi penyanyi-penyanyi di AlFayoum, outdoor bersama Ibu-Ibu di Tanta, segala macam segmen masyarakat. KK maiyahan di perahu sungai Nil, di sisi piramid-piramid dan spinx, di Istana Faruq, di pasar, di jalanan-jalanan, jangankan lagi di Masjid maqam Imam Syafii, Imam Badawi, Imam Busyiri, Imam Husein….
Di puncak Musa itu rasanya seperti Mi’raj. Kalau mendaki Semeru atau Merapi, ada siapa di atas sana? Di sinilah Musa mengambil jarak dari kaumnya yang bikin pusing, yang ia titipkan padsa Harun, tapi kemudian dikhianati oleh Samiri. Di sisi tembok batu itulah Musa bersemedi. Allah membentaknya dengan meledakkan gunung sampai beliau pingsan — tampak benar bekas ledakan itu: gunung-gunung anakan, yang bentuk dan tekture bebatuannya seperti cair, karena dulunya adalah lava-lava atau seperti bulatan-bulatan lendir raksasa….
Kemudian Musa turun dari puncak ini, kemudian berjalan sekitar 1300 km mencari Khidlir….
Ketika sekitar pukul 9 pagi, usai maiyahan, kami turun — ya Rabb, tampak betapa jauhnya kami di atas. Memandang ke bawah, gigir-gigir batu, trap-trap jauh jauh jauh ke bawah, dan ini baru satu gunung. Tentu saja kami melangkah turun dengan penuh kegembiraan, tapi siapapun yang punya kecerdasan segera tahu bahwa perjalanan turun ini juga bukan perjuangan yang ringan.
Turun dari trap ke trap, kemudian masih melingkar-lingkar meliuk-liuk di dua gunung berikutnya. Dan ketika sudah menyelesaikan tiga gunung, ternyata ularnya masih sangat panjang dan tampak dari kejauhan. Ya Allah, kaki kami harus melangkah sekian ribu kali lagi menuju ke planet Mars nun jauh di sana itu….
Dan ketika kami menoleh ke atas, kami hampir pingsan: Bagaimana mungkin kita tadi sampai di atas sana? Memandang ketinggian gunung pertama saja sudah awang-awangen, padahal Jabal Musa yang bertrap-trap itu tak kelihatan dari kerendahan dibalik gunung yang pertama. Ya Allah, kalau kami mendaki di siang hari, dan sambil berjalan tampak betapa tinggi dan jauh yang harus kami tempuh….demi Allah kami akan dipenuhi oleh rasa putus asa. Ya Allah, jika tadi malam mata kami bisa melihat ke atas sana, tak mungkin kami sanggup menempuhnya…kami hanya akan titip salam untuk Nabi Musa.
Ya Allah kami bisa sampai di puncak Gunung Kalimullah-Mu hanya dengan dua dorongan. Pertama, kerinduan untuk duduk di tempat uzlahnya Musa AS. Kedua, ketidak-tahuan bahwa ternyata tempatnya begitu jauh dan medannya begitu berat.
Ya Allah kami bisa bertahan untuk meneruskan mendaki, pertama karena semangat spiritual. Kedua, karena alhamdulillah ada warung-warung minuman di sejumlah pos, ada rokok dan banyak teman. Itupun jalanan yang kami tempuh sudah ditata rapi. Sedangkan Musa-Mu naik mencari jalan sendiri, tanpa warung, tanpa rokok, hanya berbekal iman dan kerinduan kepadaMu….

sumber : http://www.kiaikanjeng.com/blog/jabal-musa-2750-trap-curam-menuju-tangis/

 

Tag :

Membangkitkan Kebangkitan: Paradigma Baru kemandiria

Ribut benar acara-acara Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di mana diriku di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukan diriku, maka saya mengandaikan diriku ini cukup penting di tengah orang banyak sehingga ada yang bertanya apa aspirasi saya tentang Kebangkitan Nasional.
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah, nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan. Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan. Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu. Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan” nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah generasi”.

sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
Tag :

Dari Sunan Kalijogo ke Kedaulatan Pangan

Kamis, 1 Juli kemarin, Cak Nun diminta berceramah pada acara Temu Tani & Nelayan Nasional yang diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyyah bertempat di P4TK Matematika Yogyakarta. Topik yang diberikan kepada Cak Nun adalah “Budaya Agraris di Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok.
Di hadapan sekitar 120 peserta yang terdiri atas unsur-unsur Muhammadiyyah dan perwakilan petani dan nelayan, Cak Nun mengatakan, “Sudah pasti saya tidak paham masalah pertanian. Tetapi yang saya akan kemukakan nanti justru terkait dengan strategi Muhammadiyyah.”
Menariknya, sebelum sampai ke poinnya, Cak Nun juga bercerita tentang sejarah agraris di Indonesia dikaitkan dengan kiprah Sunan Kalijogo. Sesuatu yang jarang diperhatikan orang. Pada mulanya kerajaan Majapahit yang dalam versi yang diperkenalkan Cak Nun ada kemungkinan berpusat di Sidoarjo. Waktu itu, di wilayah Sidoarjo, terjadi deformasi tanah akibat pergerakan lempeng bumi dari wilayah pegunungan Kendeng Pati dan seterusya hingga ke Sidoarjo, sehingga tanah di Sidoarjo mengandung lumpur. Ini berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas pertanian di Majapahit. Majapahit pun kemudian mengalami kemunduran.
Peralihan dari kemunduran Majapahit menuju tahap sejarah selanjutnya dikawal oleh Sunan Kalijogo. Menurut Cak Nun, Sunan Kalijogo adalah seorang pendekar dan strateg sehingga ia bisa meyakinkan para petinggi Majapahit bahkan mereka bisa masuk Islam, bahkan juga Brawijaya V ikut masuk Islam. Kependekaran dan kestrategan inilah yang membuat Sunan Kalijogo mampu mengintegrasikan budaya agraris Majapahit dengan budaya pesisir Pantai Utara.
Peralihan ini terbagi ke tiga arah. Pertama ke Demak. Kedua, ke daerah Cetho dekat Gunung Lawu, dan ketiga, ke Selatan (Sabdopalon Nyogenggong). Peralihan ini bisa dikatakan sebagai eksperimentasi dari budaya agraris ke budaya pesisir, meskipun ini hanya berhasil selama beberapa tahun saja. Terutama wilayah Mataram yang tetap saja agraris, karena pantai Selatan bukanlah wilayah persentuhan dengan dunia global, sebagaimana Pantura.
Sejarah itu berlanjut hingga datangnya kolonial Belanda dengan VOC-nya, disambung politik etis kultur stelsel Van Deventer yang membuka politik tertutup agraris dengan dunia budaya global, sampai dipertegas kembali oleh kebijakan politik Pak Harto pada 1968 melalui kebijakan politik terbuka (dengan perjanjian 30 tahun pasar bebas). Hingga saat ini tiba pada masa—istilah Cak Nun—ultraliberalisme. Cak Nun memberi contoh bahwa banyak sawah-sawah yang tidak lagi dimiliki para petani atau orang setempat. Tambak-tambak juga banyak yang dimiliki oleh orang luar daerah. Juga mall-mall. Maka Cak Nun berpesan bila memang Muhammaddyyah hendak nyunggi wakule petani dan nelayan janganlah gembelengan.
“Kita dikepung oleh ultraliberalisme. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita punya kedaulatan. Ada dua pilihan bagi Muhammadiyyah. Pertama, dengan kekuatan dan kohesi jaringannya yang berskala nasional, apakah Muhammadiyyah akan memilih kedaulatan itu, sekurang-kurangnya kedaulatan bisa dilakukan di kalangan Muhammadiyyah sendiri, tanpa “mengganggu” negara. Umpamanya, para petani Muhammadiyyah menjual hasil pertaniannya (padi, beras, dll) ke kelas menengahnya Muhammadiyyah, dan seterusnya. Kedua, karena titik-titik menyangkut pertanian terletak pada kebijakan pemerintah, maka Muhammadiyyah harus berpikir dan bekerja keras untuk melahirkan pemimpin nasional yang punya konsern dan perjuangan pada soal pertanian ini. Jika memilih pilihan ini, maka sejak sekarang Muhammadiyyah harus mencanangkannya sejak sekarang. Dengan kata lain, ambil kedaulatan pangan itu,” papar Cak Nun.
Lebih jauh Cak Nun menegaskan, “Jadi, Muhammadiyyah akan membikin konsep integrated farming saja, semacam kegiatan LSM, ataukah akan menegakkan kedaulatan pangan nasional dengan menyiapkan kepemimpinan nasional yang perlu disiapkan sejak sekarang, yang manakah yang akan dipilih? Diskusi ini sendiri akan berorientasi ke mana? Berorientasi pada yang pertama saja juga sangat oke dan saya bisa memafhumi, tetapi jika memilih yang kedua sangat bagus, dan inilah sebenarnya yang perlu digagas dalam Muktamar seabad Muhammadiyyah kali ini.”
Rangkaian acara temu tani dan nelayan nasional ini sendiri juga dalam rangka menyambut dan menyemarakkan Muktamar seabad Muhammadiyyah yang digelar di Yogyakarta 3-8 Juli 2010. Dalam rangkaian Muktamar itu sendiri, Cak Nun dan KiaiKanjeng juga diminta terlibat dalam sejumlah perhelatan Mukatamar, di antaranya persembahan musik KiaiKanjeng, mengiringi tari kolosal flashlamp Collosal dance Didik Nini Thowok, berkolaborasi dengan Orkestra Dwiki Darmawan, pada acara tanggal 3 malam di stadion Mandala Krida, serta nanti akan dua kali bermaiyahan dengan muktamirin.

sumber : 
http://www.kiaikanjeng.com/liputan/dari-sunan-kalijogo-ke-kedaulatan-pangan/
Tag :

on Senin, 17 September 2012

Tag :
 
© Berbagi Ilmu Olahraga | All Rights Reserved
Designed ByImuzcorner | Powered ByBlogger | RealMadrid CF Blogger Template ByFree Blogger Template