Kalau tidak karena ada Nabi Musa di puncak sana, tak maulah
capek-capek naik ke Gunung Katerina alias Jabal Musa. Dari pos
berhentinya bis menuju awal pendakian gunung yang pertama saja mending
jalan kaki Jombang-Surabaya. Setelah itu harus mendaki jalan naik
rata-rata 30 derajat, berkelok-kelok, melintir-melintir seperti
menelusuri badan ular raksasa yang amat sangat panjang — ular raksasa
yang meliliti dua gunung.
Jalanan sangat kering, debu dan batu-batu. Mungkin ada satu dua helai
rumput berwarna coklat kering, tapi jangan bayangkan ada warna hijau,
jangan berharap ada satu tanaman atau apalagi pepohonan yang rimbun
sebagaimana gunung-gunung di tanah air.
Udara sangat dingin, angin berhembus menusuk-nusuk tulang. Semakin ke
atas semakin deras angin menyerbu. Semakin ke atas semakin mendekati
titik beku — sekitar 2 atau 3 derajat Celcius. Siapakah rombongan gila
yang mendaki gunung Musa di musim dingin ini? Apakah mereka
pendaki-pendaki gunung yang berpengalaman? Kenapa tidak menunggu musim
panas, agar badan tidak membeku? Apakah mereka berpakaian rangkap 18?
Apakah mereka menyangka angin Firaun tidak mampu menembus 18 lapisan
kain tebal? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka kepanasan di
Cengkareng?
Di ujung ekor sang ular di leher gunung yang kedua, tiba-tiba,
sesudah ada lorong panjang yang membelah batu-batu raksasa — terdapat
jalanan yang menurun. Semua warga Kiai Kanjeng bersorak-sorak! Sesudah
pendakian sangat panjang yang sangat melelahkan dan mencopot dengkul — kini jalanan sudah menurun, berarti inilah puncaknya!
Mereka menghentikan langkah, duduk di batu-batu sekenanya, atau
menyandarkan punggung, Yudi bahkan langsung melingkar, tidur, dan
mengorok. Di beberapa bagian jalanan, ketika rombongan beristirahat —
Yudi punya keahlian sendiri: ada beberapa menit istirahat ia gunakan
untuk mengorok. Luar biasa bahagia hidupnya.
Tapi ternyata rombongan itu GR. Di ujung jalanan yang sedikit menurun itu tampak samar-samar ada jalanan batu-batu sangat curam yang menaik sampai ke langit…
Rombongan masih harus mendaki gunung ketiga, gunung yang sebenarnya.
Kaki mereka yang rasanya bukan hanya sangat pegal-pegal tapi juga
rasanya sudah tidak ada kaki — masih harus mendaki trap-trap batu curam
60 derajat ke atas sebanyak 2750 trap Mampus mampuslah mampus. Almampusu malmampusu wama adroka malmampus…ini benar-benar kal-ihnil manfuuuusss….
Kalau sesudah mendaki dua gunung lantas di 2750 trap ini Anda sanggup
menapak naik langsung sampai 20 langkah tanpa berhenti, berarti Anda
belum punya penyakit dalam dan kaki Anda masih bisa dipakai untuk
pertandingan sepakbola. Kalau Anda keberatan perut, jantung tidak fresh,
atau ada suatu penyakit dalam tubuh — berhentilah sebelum naik trap,
cari onta dan suruh dia mengantarkan Anda turun ke bumi.
Kalau 10 langkah berhenti 10 langkah berhenti masih bisa, cobalah
mendaki sampai tuntas. Saya dirahmati Allah karena berjalan bersama
Ustadz Jamal dari Departemen Kebudayaan Mesir, yang badannya besar dan
agak gemuk sehingga sangat kecapekan dan sangat lamban mendaki. Bersama
kami juga ada Ustadz Muhammad Nur Shamad, Atdikbud KBRI yang juga
selemah saya. Tidak tega saya meninggalkannya. Nanti pasti saya akan
kalah duluan sampainya ke puncak — dan saya punya alasan: “Aduh saya
tidak tega sama Ustadz Jamal….”. Padahal saya bersyukur mendaki
bersamanya, karena kalau beberapa langkah beliau berhenti, saya juga
bersyukur punya alasan yang indah untuk berhenti. Seakan-akan saya
toleran kepadanya, padahal saya memang benar-benar capek.
Mbak Via bahkan termasuk juara pertama bersama Bobiet, Cak Fuad dan
Irfan. Para juara ini menempuk perjalanan sekitar 4,5 jam, sempat shalat
subuh di puncak, sementara lainnya ada yang 5 jam ada yang 5,5 jam.
Ananto, Bayu dan Jijit tidak ikut mendaki karena dalam keadaan sakit.
Nia, Yuli dan Roh, juga mengambil keputusan yang arif: tidur di
penginapan, sebab kalau sampai putri-putri ini ikut naik, lantas
resikonya harus digotong pulang dari atas gunung — siapa yang akan kuat
menuruni gunung seram dan medan sangat berat itu dengan menggendong
orang lain?
Yang mengagumkan adalah bahwa SP Joko dan Islamiyanto sanggup
menuntaskan perjuangan sampai puncak. Seabagaimana Yudi, Islami juga
banyak menyempatkan diri untuk tidur di pos-pos peristirahatan. Sp Joko
ternyata diberi tenaga oleh Allah melalui calon anaknya: “Hari ini
adalah HPL kelahiran anak saya, sehingga saya berniat tirakat sampai
tuntas demi anak saya….”
Rahmat sempat naik onta di gunung pertama dan kedua. Semula ia memang
berniat tidak berangkat, tapi setengah saya paksa untuk pergi dari
penginapan. Di leher gunung kedua ia juga sudah memutuskan untuk tidak
meneruskan, tapi saya paksa dan saya pelototi. Akhirnya ia sukses sampai
ke puncak, dan bahkan turunnya berlari menuruni tiga gunung.
Nevi merasa jari-jarinya lenyap karena berani-beraninya tidak pakai
sarung tangan. Joko Kamto berwirid sepanjang pendakian “YaaHu YaaHu
Yaahu…” dan tercapai. Giyanto dan Ardani terbiasa hidup keras di
desanya. Yoyok dan semua teman lainnya tidak pernah kehabisan alasan
untuk ndagel dan mengejek diri mereka sendiri sehingga lulus dengan penuh kegembiraan.
Pakde suntuk khusyu menghayati sesuatu di dalam dirinya dan hanya ia
yang tahu kenapa untuk menaklukkan sesuatu itu ia mendaki tiga gunung
tanpa memakai sepatu atau sendal melainkan hanya pakai kaos kaki. Dan,
tentu saja, Pakde, gelandang kesebelasan MAS ini lulus dengan mulus.
Bobiet menjadi salah satu juara karena sejak di Jogja dia sudah
mematerikan niat bulat istiqamah total bahwa ke manapun KiaiKanjeng
pergi ia mewajibkan dirinya untuk berdiri di depan dan tidak akan
membiarkan dirinya berputus apa oleh apapun juga.
Cak Fuad punya metode sendiri. Ia sangat stabil berjalan naik dan
berjalan turun. Konstan, tidak ada keluhan, tidak tersendat-sendat.
Rupanya diam-diam ia mempraktekkan bahwa ketika naik 2750 trap curam itu
kalau berjalan miring ternyata lebih ringan dan tidak sangat kelelahan.
Di puncak Jabal Musa Cak Fuad mewawancarai penjual wedangan….Bagaimana
orang ini kok jualan teh kopi di puncak gunung? Kita membawa badan
kosongan saja mau mati rasanya, lha dia membawa semua peralatan
warungnya ke sini bagaimana caranya?
“Bapak ini bukan hanya seorang penjual minuman. Dia mengerti sejarah,
hapal ayat-ayat dan memiliki logika berpikir yang tidak kalah dibanding
profesor-profesor ilmu Agama di Indonesia. Dua minggu dia jualan di
atas, dua minggu ia bersama keluarganya di bawah sana….”
Yang Cak Fuad tidak mengerti adalah Mbak Via itu mendaki demikian
beratnya, bawa kamera, dan sepanjang pendakian terus omong
bercerita-cerita dan melucu. Padahal omong satu kalimat saja irama napas
akan terganggu karena sepanjang 5 jam itu kami semua dalam keadaan
tersengal-sengal.
Dan ketika kami maiyahan di Musholla, setapak di atas tempat Nabi
Musa AS bertapa melakukan uzlah 40 hari — Mbak Via untuk pertama kalinya
berbicara agak panjang. Sambil menangis mengguguk-guguk, dan memang
semua yang berbicara pagi itu di puncak Jabal Musa, tak seorangpun yang
tak menangis. Mbak Via menyatakan rasa syukur kepada Allah bahwa delapan
tahun terakhir dalam hidupnya ini Allah menganugerahkan pengalaman,
nilai-nilai, kebahagiaan dan segala sesuatu yang luar biasa nikmatnya —
yang tak mungkin ia dapatkan jika ia menjadi artis di Jakarta.
Memang demikian pulalah yang diperoleh oleh Kiai
Kanjeng….pengalaman-pengalaman sosial, spiritual, kultural, yang luar
biasa, yang sangat luas skalanya, yang sangat multi-dimensional. Tidak
sebagaimana layaknya grup musik. Jangankan ketika di Indonesia: maiyahan
dan main musik di pinggir hutan bersama blandong-blandong, di Dolly
tempat pelacuran terbesar se Asia Tenggara, di hotel-hotel mewah, di
gedung-gedung tinggi, di kalangan jetset, di desa-desa terpencil, di
kampung-kampung kumuh di mana tempat sampah disulat menjadi panggung, di
tambah ikan, di perahu antar pulau, di pesawat, di gunung-gunung,
bersama pejabat dan tukang becak, bersama pengusaha dan preman-preman….
Bahkan selama di Mesir KiaiKanjeng berjumpa dengan penonton umum di
Cairo, pelajar-pelajar dari TK sampai universitas di Ismailia, para VIP
di Alexandria, mengiringi penyanyi-penyanyi di AlFayoum, outdoor bersama
Ibu-Ibu di Tanta, segala macam segmen masyarakat. KK maiyahan di perahu
sungai Nil, di sisi piramid-piramid dan spinx, di Istana Faruq, di
pasar, di jalanan-jalanan, jangankan lagi di Masjid maqam Imam Syafii,
Imam Badawi, Imam Busyiri, Imam Husein….
Di puncak Musa itu rasanya seperti Mi’raj. Kalau mendaki Semeru atau
Merapi, ada siapa di atas sana? Di sinilah Musa mengambil jarak dari
kaumnya yang bikin pusing, yang ia titipkan padsa Harun, tapi kemudian
dikhianati oleh Samiri. Di sisi tembok batu itulah Musa bersemedi. Allah
membentaknya dengan meledakkan gunung sampai beliau pingsan — tampak
benar bekas ledakan itu: gunung-gunung anakan, yang bentuk dan tekture
bebatuannya seperti cair, karena dulunya adalah lava-lava atau seperti
bulatan-bulatan lendir raksasa….
Kemudian Musa turun dari puncak ini, kemudian berjalan sekitar 1300 km mencari Khidlir….
Ketika sekitar pukul 9 pagi, usai maiyahan, kami turun — ya Rabb,
tampak betapa jauhnya kami di atas. Memandang ke bawah, gigir-gigir
batu, trap-trap jauh jauh jauh ke bawah, dan ini baru satu gunung. Tentu
saja kami melangkah turun dengan penuh kegembiraan, tapi siapapun yang
punya kecerdasan segera tahu bahwa perjalanan turun ini juga bukan
perjuangan yang ringan.
Turun dari trap ke trap, kemudian masih melingkar-lingkar meliuk-liuk
di dua gunung berikutnya. Dan ketika sudah menyelesaikan tiga gunung,
ternyata ularnya masih sangat panjang dan tampak dari kejauhan. Ya
Allah, kaki kami harus melangkah sekian ribu kali lagi menuju ke planet
Mars nun jauh di sana itu….
Dan ketika kami menoleh ke atas, kami hampir pingsan: Bagaimana
mungkin kita tadi sampai di atas sana? Memandang ketinggian gunung
pertama saja sudah awang-awangen, padahal Jabal Musa yang bertrap-trap
itu tak kelihatan dari kerendahan dibalik gunung yang pertama. Ya Allah,
kalau kami mendaki di siang hari, dan sambil berjalan tampak betapa
tinggi dan jauh yang harus kami tempuh….demi Allah kami akan dipenuhi
oleh rasa putus asa. Ya Allah, jika tadi malam mata kami bisa melihat ke
atas sana, tak mungkin kami sanggup menempuhnya…kami hanya akan titip
salam untuk Nabi Musa.
Ya Allah kami bisa sampai di puncak Gunung Kalimullah-Mu hanya
dengan dua dorongan. Pertama, kerinduan untuk duduk di tempat uzlahnya
Musa AS. Kedua, ketidak-tahuan bahwa ternyata tempatnya begitu jauh dan
medannya begitu berat.
Ya Allah kami bisa bertahan untuk meneruskan mendaki, pertama karena
semangat spiritual. Kedua, karena alhamdulillah ada warung-warung
minuman di sejumlah pos, ada rokok dan banyak teman. Itupun jalanan yang
kami tempuh sudah ditata rapi. Sedangkan Musa-Mu naik mencari jalan
sendiri, tanpa warung, tanpa rokok, hanya berbekal iman dan kerinduan
kepadaMu….
sumber : http://www.kiaikanjeng.com/blog/jabal-musa-2750-trap-curam-menuju-tangis/
sumber : http://www.kiaikanjeng.com/blog/jabal-musa-2750-trap-curam-menuju-tangis/