Ribut benar acara-acara Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di
mana diriku di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukan diriku,
maka saya mengandaikan diriku ini cukup penting di tengah orang banyak
sehingga ada yang bertanya apa aspirasi saya tentang Kebangkitan
Nasional.
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari
diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai
bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah,
nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke
mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang
diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada
generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana
kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah
transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa
eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan
lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap
orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk
dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh
dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih
baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru
memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan.
Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang
menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan
parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau
belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk
menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat
dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada
pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun
dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang
masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari
mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu
mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk
akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money
adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali
konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama
dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan
laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan
menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai
sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi
yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang
tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya
terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia.
Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada
proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan
langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan.
Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga
dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan
yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu
remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling
menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak
untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan
kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi
masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu
diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar
kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan
disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna
substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama.
Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi
perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan
politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan
bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu.
Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita
harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita
teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh
konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal
sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar.
Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus
kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun,
tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan”
nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah
generasi”.
sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar