Siswa SDN 1 Karanganyar, Purwanegara, Banjarnegara

on Senin, 12 November 2012


Tag :

Jabal Musa: 2750 Trap Curam Menuju Tangis

on Selasa, 18 September 2012

Kalau tidak karena ada Nabi Musa di puncak sana, tak maulah capek-capek naik ke Gunung Katerina alias Jabal Musa. Dari pos berhentinya bis menuju awal pendakian gunung yang pertama saja mending jalan kaki Jombang-Surabaya. Setelah itu harus mendaki jalan naik rata-rata 30 derajat, berkelok-kelok, melintir-melintir seperti menelusuri badan ular raksasa yang amat sangat panjang — ular raksasa yang meliliti dua gunung.
Jalanan sangat kering, debu dan batu-batu. Mungkin ada satu dua helai rumput berwarna coklat kering, tapi jangan bayangkan ada warna hijau, jangan berharap ada satu tanaman atau apalagi pepohonan yang rimbun sebagaimana gunung-gunung di tanah air.
Udara sangat dingin, angin berhembus menusuk-nusuk tulang. Semakin ke atas semakin deras angin menyerbu. Semakin ke atas semakin mendekati titik beku — sekitar 2 atau 3 derajat Celcius. Siapakah rombongan gila yang mendaki gunung Musa di musim dingin ini? Apakah mereka pendaki-pendaki gunung yang berpengalaman? Kenapa tidak menunggu musim panas, agar badan tidak membeku? Apakah mereka berpakaian rangkap 18? Apakah mereka menyangka angin Firaun tidak mampu menembus 18 lapisan kain tebal? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka kepanasan di Cengkareng?
Di ujung ekor sang ular di leher gunung yang kedua, tiba-tiba, sesudah ada lorong panjang yang membelah batu-batu raksasa — terdapat jalanan yang menurun. Semua warga Kiai Kanjeng bersorak-sorak! Sesudah pendakian sangat panjang yang sangat melelahkan dan mencopot dengkul — kini jalanan sudah menurun, berarti inilah puncaknya!
Mereka menghentikan langkah, duduk di batu-batu sekenanya, atau menyandarkan punggung, Yudi bahkan langsung melingkar, tidur, dan mengorok. Di beberapa bagian jalanan, ketika rombongan beristirahat — Yudi punya keahlian sendiri: ada beberapa menit istirahat ia gunakan untuk mengorok. Luar biasa bahagia hidupnya.
Tapi ternyata rombongan itu GR. Di ujung jalanan yang sedikit menurun itu tampak samar-samar ada jalanan batu-batu sangat curam yang menaik sampai ke langit…
Rombongan masih harus mendaki gunung ketiga, gunung yang sebenarnya. Kaki mereka yang rasanya bukan hanya sangat pegal-pegal tapi juga rasanya sudah tidak ada kaki — masih harus mendaki trap-trap batu curam 60 derajat ke atas sebanyak 2750 trap Mampus mampuslah mampus. Almampusu malmampusu wama adroka malmampus…ini benar-benar kal-ihnil manfuuuusss….
Kalau sesudah mendaki dua gunung lantas di 2750 trap ini Anda sanggup menapak naik langsung sampai 20 langkah tanpa berhenti, berarti Anda belum punya penyakit dalam dan kaki Anda masih bisa dipakai untuk pertandingan sepakbola. Kalau Anda keberatan perut, jantung tidak fresh, atau ada suatu penyakit dalam tubuh — berhentilah sebelum naik trap, cari onta dan suruh dia mengantarkan Anda turun ke bumi.
Kalau 10 langkah berhenti 10 langkah berhenti masih bisa, cobalah mendaki sampai tuntas. Saya dirahmati Allah karena berjalan bersama Ustadz Jamal dari Departemen Kebudayaan Mesir, yang badannya besar dan agak gemuk sehingga sangat kecapekan dan sangat lamban mendaki. Bersama kami juga ada Ustadz Muhammad Nur Shamad, Atdikbud KBRI yang juga selemah saya. Tidak tega saya meninggalkannya. Nanti pasti saya akan kalah duluan sampainya ke puncak — dan saya punya alasan: “Aduh saya tidak tega sama Ustadz Jamal….”. Padahal saya bersyukur mendaki bersamanya, karena kalau beberapa langkah beliau berhenti, saya juga bersyukur punya alasan yang indah untuk berhenti. Seakan-akan saya toleran kepadanya, padahal saya memang benar-benar capek.
Mbak Via bahkan termasuk juara pertama bersama Bobiet, Cak Fuad dan Irfan. Para juara ini menempuk perjalanan sekitar 4,5 jam, sempat shalat subuh di puncak, sementara lainnya ada yang 5 jam ada yang 5,5 jam.
Ananto, Bayu dan Jijit tidak ikut mendaki karena dalam keadaan sakit. Nia, Yuli dan Roh, juga mengambil keputusan yang arif: tidur di penginapan, sebab kalau sampai putri-putri ini ikut naik, lantas resikonya harus digotong pulang dari atas gunung — siapa yang akan kuat menuruni gunung seram dan medan sangat berat itu dengan menggendong orang lain?
Yang mengagumkan adalah bahwa SP Joko dan Islamiyanto sanggup menuntaskan perjuangan sampai puncak. Seabagaimana Yudi, Islami juga banyak menyempatkan diri untuk tidur di pos-pos peristirahatan. Sp Joko ternyata diberi tenaga oleh Allah melalui calon anaknya: “Hari ini adalah HPL kelahiran anak saya, sehingga saya berniat tirakat sampai tuntas demi anak saya….”
Rahmat sempat naik onta di gunung pertama dan kedua. Semula ia memang berniat tidak berangkat, tapi setengah saya paksa untuk pergi dari penginapan. Di leher gunung kedua ia juga sudah memutuskan untuk tidak meneruskan, tapi saya paksa dan saya pelototi. Akhirnya ia sukses sampai ke puncak, dan bahkan turunnya berlari menuruni tiga gunung.
Nevi merasa jari-jarinya lenyap karena berani-beraninya tidak pakai sarung tangan. Joko Kamto berwirid sepanjang pendakian “YaaHu YaaHu Yaahu…” dan tercapai. Giyanto dan Ardani terbiasa hidup keras di desanya. Yoyok dan semua teman lainnya tidak pernah kehabisan alasan untuk ndagel dan mengejek diri mereka sendiri sehingga lulus dengan penuh kegembiraan.
Pakde suntuk khusyu menghayati sesuatu di dalam dirinya dan hanya ia yang tahu kenapa untuk menaklukkan sesuatu itu ia mendaki tiga gunung tanpa memakai sepatu atau sendal melainkan hanya pakai kaos kaki. Dan, tentu saja, Pakde, gelandang kesebelasan MAS ini lulus dengan mulus.
Bobiet menjadi salah satu juara karena sejak di Jogja dia sudah mematerikan niat bulat istiqamah total bahwa ke manapun KiaiKanjeng pergi ia mewajibkan dirinya untuk berdiri di depan dan tidak akan membiarkan dirinya berputus apa oleh apapun juga.
Cak Fuad punya metode sendiri. Ia sangat stabil berjalan naik dan berjalan turun. Konstan, tidak ada keluhan, tidak tersendat-sendat. Rupanya diam-diam ia mempraktekkan bahwa ketika naik 2750 trap curam itu kalau berjalan miring ternyata lebih ringan dan tidak sangat kelelahan. Di puncak Jabal Musa Cak Fuad mewawancarai penjual wedangan….Bagaimana orang ini kok jualan teh kopi di puncak gunung? Kita membawa badan kosongan saja mau mati rasanya, lha dia membawa semua peralatan warungnya ke sini bagaimana caranya?
“Bapak ini bukan hanya seorang penjual minuman. Dia mengerti sejarah, hapal ayat-ayat dan memiliki logika berpikir yang tidak kalah dibanding profesor-profesor ilmu Agama di Indonesia. Dua minggu dia jualan di atas, dua minggu ia bersama keluarganya di bawah sana….”
Yang Cak Fuad tidak mengerti adalah Mbak Via itu mendaki demikian beratnya, bawa kamera, dan sepanjang pendakian terus omong bercerita-cerita dan melucu. Padahal omong satu kalimat saja irama napas akan terganggu karena sepanjang 5 jam itu kami semua dalam keadaan tersengal-sengal.
Dan ketika kami maiyahan di Musholla, setapak di atas tempat Nabi Musa AS bertapa melakukan uzlah 40 hari — Mbak Via untuk pertama kalinya berbicara agak panjang. Sambil menangis mengguguk-guguk, dan memang semua yang berbicara pagi itu di puncak Jabal Musa, tak seorangpun yang tak menangis. Mbak Via menyatakan rasa syukur kepada Allah bahwa delapan tahun terakhir dalam hidupnya ini Allah menganugerahkan pengalaman, nilai-nilai, kebahagiaan dan segala sesuatu yang luar biasa nikmatnya — yang tak mungkin ia dapatkan jika ia menjadi artis di Jakarta.
Memang demikian pulalah yang diperoleh oleh Kiai Kanjeng….pengalaman-pengalaman sosial, spiritual, kultural, yang luar biasa, yang sangat luas skalanya, yang sangat multi-dimensional. Tidak sebagaimana layaknya grup musik. Jangankan ketika di Indonesia: maiyahan dan main musik di pinggir hutan bersama blandong-blandong, di Dolly tempat pelacuran terbesar se Asia Tenggara, di hotel-hotel mewah, di gedung-gedung tinggi, di kalangan jetset, di desa-desa terpencil, di kampung-kampung kumuh di mana tempat sampah disulat menjadi panggung, di tambah ikan, di perahu antar pulau, di pesawat, di gunung-gunung, bersama pejabat dan tukang becak, bersama pengusaha dan preman-preman….
Bahkan selama di Mesir KiaiKanjeng berjumpa dengan penonton umum di Cairo, pelajar-pelajar dari TK sampai universitas di Ismailia, para VIP di Alexandria, mengiringi penyanyi-penyanyi di AlFayoum, outdoor bersama Ibu-Ibu di Tanta, segala macam segmen masyarakat. KK maiyahan di perahu sungai Nil, di sisi piramid-piramid dan spinx, di Istana Faruq, di pasar, di jalanan-jalanan, jangankan lagi di Masjid maqam Imam Syafii, Imam Badawi, Imam Busyiri, Imam Husein….
Di puncak Musa itu rasanya seperti Mi’raj. Kalau mendaki Semeru atau Merapi, ada siapa di atas sana? Di sinilah Musa mengambil jarak dari kaumnya yang bikin pusing, yang ia titipkan padsa Harun, tapi kemudian dikhianati oleh Samiri. Di sisi tembok batu itulah Musa bersemedi. Allah membentaknya dengan meledakkan gunung sampai beliau pingsan — tampak benar bekas ledakan itu: gunung-gunung anakan, yang bentuk dan tekture bebatuannya seperti cair, karena dulunya adalah lava-lava atau seperti bulatan-bulatan lendir raksasa….
Kemudian Musa turun dari puncak ini, kemudian berjalan sekitar 1300 km mencari Khidlir….
Ketika sekitar pukul 9 pagi, usai maiyahan, kami turun — ya Rabb, tampak betapa jauhnya kami di atas. Memandang ke bawah, gigir-gigir batu, trap-trap jauh jauh jauh ke bawah, dan ini baru satu gunung. Tentu saja kami melangkah turun dengan penuh kegembiraan, tapi siapapun yang punya kecerdasan segera tahu bahwa perjalanan turun ini juga bukan perjuangan yang ringan.
Turun dari trap ke trap, kemudian masih melingkar-lingkar meliuk-liuk di dua gunung berikutnya. Dan ketika sudah menyelesaikan tiga gunung, ternyata ularnya masih sangat panjang dan tampak dari kejauhan. Ya Allah, kaki kami harus melangkah sekian ribu kali lagi menuju ke planet Mars nun jauh di sana itu….
Dan ketika kami menoleh ke atas, kami hampir pingsan: Bagaimana mungkin kita tadi sampai di atas sana? Memandang ketinggian gunung pertama saja sudah awang-awangen, padahal Jabal Musa yang bertrap-trap itu tak kelihatan dari kerendahan dibalik gunung yang pertama. Ya Allah, kalau kami mendaki di siang hari, dan sambil berjalan tampak betapa tinggi dan jauh yang harus kami tempuh….demi Allah kami akan dipenuhi oleh rasa putus asa. Ya Allah, jika tadi malam mata kami bisa melihat ke atas sana, tak mungkin kami sanggup menempuhnya…kami hanya akan titip salam untuk Nabi Musa.
Ya Allah kami bisa sampai di puncak Gunung Kalimullah-Mu hanya dengan dua dorongan. Pertama, kerinduan untuk duduk di tempat uzlahnya Musa AS. Kedua, ketidak-tahuan bahwa ternyata tempatnya begitu jauh dan medannya begitu berat.
Ya Allah kami bisa bertahan untuk meneruskan mendaki, pertama karena semangat spiritual. Kedua, karena alhamdulillah ada warung-warung minuman di sejumlah pos, ada rokok dan banyak teman. Itupun jalanan yang kami tempuh sudah ditata rapi. Sedangkan Musa-Mu naik mencari jalan sendiri, tanpa warung, tanpa rokok, hanya berbekal iman dan kerinduan kepadaMu….

sumber : http://www.kiaikanjeng.com/blog/jabal-musa-2750-trap-curam-menuju-tangis/

 

Tag :

Membangkitkan Kebangkitan: Paradigma Baru kemandiria

Ribut benar acara-acara Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di mana diriku di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukan diriku, maka saya mengandaikan diriku ini cukup penting di tengah orang banyak sehingga ada yang bertanya apa aspirasi saya tentang Kebangkitan Nasional.
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah, nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan. Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan. Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu. Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan” nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah generasi”.

sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
Tag :

Dari Sunan Kalijogo ke Kedaulatan Pangan

Kamis, 1 Juli kemarin, Cak Nun diminta berceramah pada acara Temu Tani & Nelayan Nasional yang diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyyah bertempat di P4TK Matematika Yogyakarta. Topik yang diberikan kepada Cak Nun adalah “Budaya Agraris di Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok.
Di hadapan sekitar 120 peserta yang terdiri atas unsur-unsur Muhammadiyyah dan perwakilan petani dan nelayan, Cak Nun mengatakan, “Sudah pasti saya tidak paham masalah pertanian. Tetapi yang saya akan kemukakan nanti justru terkait dengan strategi Muhammadiyyah.”
Menariknya, sebelum sampai ke poinnya, Cak Nun juga bercerita tentang sejarah agraris di Indonesia dikaitkan dengan kiprah Sunan Kalijogo. Sesuatu yang jarang diperhatikan orang. Pada mulanya kerajaan Majapahit yang dalam versi yang diperkenalkan Cak Nun ada kemungkinan berpusat di Sidoarjo. Waktu itu, di wilayah Sidoarjo, terjadi deformasi tanah akibat pergerakan lempeng bumi dari wilayah pegunungan Kendeng Pati dan seterusya hingga ke Sidoarjo, sehingga tanah di Sidoarjo mengandung lumpur. Ini berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas pertanian di Majapahit. Majapahit pun kemudian mengalami kemunduran.
Peralihan dari kemunduran Majapahit menuju tahap sejarah selanjutnya dikawal oleh Sunan Kalijogo. Menurut Cak Nun, Sunan Kalijogo adalah seorang pendekar dan strateg sehingga ia bisa meyakinkan para petinggi Majapahit bahkan mereka bisa masuk Islam, bahkan juga Brawijaya V ikut masuk Islam. Kependekaran dan kestrategan inilah yang membuat Sunan Kalijogo mampu mengintegrasikan budaya agraris Majapahit dengan budaya pesisir Pantai Utara.
Peralihan ini terbagi ke tiga arah. Pertama ke Demak. Kedua, ke daerah Cetho dekat Gunung Lawu, dan ketiga, ke Selatan (Sabdopalon Nyogenggong). Peralihan ini bisa dikatakan sebagai eksperimentasi dari budaya agraris ke budaya pesisir, meskipun ini hanya berhasil selama beberapa tahun saja. Terutama wilayah Mataram yang tetap saja agraris, karena pantai Selatan bukanlah wilayah persentuhan dengan dunia global, sebagaimana Pantura.
Sejarah itu berlanjut hingga datangnya kolonial Belanda dengan VOC-nya, disambung politik etis kultur stelsel Van Deventer yang membuka politik tertutup agraris dengan dunia budaya global, sampai dipertegas kembali oleh kebijakan politik Pak Harto pada 1968 melalui kebijakan politik terbuka (dengan perjanjian 30 tahun pasar bebas). Hingga saat ini tiba pada masa—istilah Cak Nun—ultraliberalisme. Cak Nun memberi contoh bahwa banyak sawah-sawah yang tidak lagi dimiliki para petani atau orang setempat. Tambak-tambak juga banyak yang dimiliki oleh orang luar daerah. Juga mall-mall. Maka Cak Nun berpesan bila memang Muhammaddyyah hendak nyunggi wakule petani dan nelayan janganlah gembelengan.
“Kita dikepung oleh ultraliberalisme. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita punya kedaulatan. Ada dua pilihan bagi Muhammadiyyah. Pertama, dengan kekuatan dan kohesi jaringannya yang berskala nasional, apakah Muhammadiyyah akan memilih kedaulatan itu, sekurang-kurangnya kedaulatan bisa dilakukan di kalangan Muhammadiyyah sendiri, tanpa “mengganggu” negara. Umpamanya, para petani Muhammadiyyah menjual hasil pertaniannya (padi, beras, dll) ke kelas menengahnya Muhammadiyyah, dan seterusnya. Kedua, karena titik-titik menyangkut pertanian terletak pada kebijakan pemerintah, maka Muhammadiyyah harus berpikir dan bekerja keras untuk melahirkan pemimpin nasional yang punya konsern dan perjuangan pada soal pertanian ini. Jika memilih pilihan ini, maka sejak sekarang Muhammadiyyah harus mencanangkannya sejak sekarang. Dengan kata lain, ambil kedaulatan pangan itu,” papar Cak Nun.
Lebih jauh Cak Nun menegaskan, “Jadi, Muhammadiyyah akan membikin konsep integrated farming saja, semacam kegiatan LSM, ataukah akan menegakkan kedaulatan pangan nasional dengan menyiapkan kepemimpinan nasional yang perlu disiapkan sejak sekarang, yang manakah yang akan dipilih? Diskusi ini sendiri akan berorientasi ke mana? Berorientasi pada yang pertama saja juga sangat oke dan saya bisa memafhumi, tetapi jika memilih yang kedua sangat bagus, dan inilah sebenarnya yang perlu digagas dalam Muktamar seabad Muhammadiyyah kali ini.”
Rangkaian acara temu tani dan nelayan nasional ini sendiri juga dalam rangka menyambut dan menyemarakkan Muktamar seabad Muhammadiyyah yang digelar di Yogyakarta 3-8 Juli 2010. Dalam rangkaian Muktamar itu sendiri, Cak Nun dan KiaiKanjeng juga diminta terlibat dalam sejumlah perhelatan Mukatamar, di antaranya persembahan musik KiaiKanjeng, mengiringi tari kolosal flashlamp Collosal dance Didik Nini Thowok, berkolaborasi dengan Orkestra Dwiki Darmawan, pada acara tanggal 3 malam di stadion Mandala Krida, serta nanti akan dua kali bermaiyahan dengan muktamirin.

sumber : 
http://www.kiaikanjeng.com/liputan/dari-sunan-kalijogo-ke-kedaulatan-pangan/
Tag :

on Senin, 17 September 2012

Tag :

pErEnCaNaAn PeMbElAjArAn

on Senin, 10 September 2012


Macam-macam perangkat pembelajaran
Rencana Minggu Efektif (RME)
Adalah hitungan hari-hari efektif yang ada pada tahun pelajaran berlangsung.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam menentukan jumlah ME :
  • Menentukan jumlah minggu selama satu tahun.
  • Menghitung jumlah minggu tidak efektif selama satu tahun.
  • Menghitung jumlah minggu efektif dengan cara jumlah minggu dalam satu tahun dikurang jumlah minggu tidak efektif .
  • Menghitung jumlah jam efektif selama satu tahun dengan cara jumlah minggu efektif dikali jumlah jam pelajaran per minggu
Program Tahunan
Adalah rencana penetapan alokasi waktu satu tahun untuk mencapai tujuan (SK dan KD) yang telah ditetapkan.
Langkah Penyusunan Program  tahunan :
  1. Mengidentifikasi jumlah KD dan indikator dalam satu tahun
  2. Melakukan pemetaan KD untuk tiap semester
  3. Menentukan alokasi waktu untuk masing-masing KD berdasarkan kedalaman dan keluasan KD.
  4. Mengidentifikasi jenis kegiatan di luar KBM dan waktu yang dibutuhkan ( UAS, UKK, UNAS, libur setelah ulangan, libur awal puasa, LHR, EF, dsb)
Program Semester
adalah program yang berisikan garis-garis besar mengenai hal-hal yang hendak dilaksanakan dan dicapai dalam semester tersebut.
Program semester merupakan penjabaran dari program tahunan. Isi dari program semester adalah tentang bulan, pokok bahasan yang hendak disampaikan, waktu yang direncanakan, dan keterangan-keterangan.
Program semester berisikan garis-garis besar mengenai hal-hal yang hendak dilaksanakan dan dicapai dalam semester tersebut. Pada umumnya program semester ini berisikan:
  1. Identitas (satuan pendidikan, mata pelajaran, kelas/semester, tahun pelajaran)
  2. Format isian (standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, jumlah jam pertemuan (JJP), dan bulan).
Kalender Pendidikan
Penyusunan kalender pendidikan selama satu tahun pelajaran mengacu pada efesiensi, efektifitas dan hak-hak peserta didik.
Tag :

CARA MENYUSUN PROGRAM SEMESTER DAN PROGRAM TAHUNAN


CARA MENYUSUN PROGRAM SEMESTER DAN PROGRAM TAHUNAN

1. Hitung alokasi waktu dalam setahun berdasarkan kalender pendidikan yang diterbitkan oleh satuan pendidikan.. Hal – hal yang diperhatikan adalah :
- banyaknya pekan dalam setiap bulan
- jumlah pekan efektif per bulan (pekan dimana terjadi KBM)
- jumlah pekan tidak efektif (pekan dimana tidak terjadi KBM misal HUT Sekolah, Hari libur umum dll)
- total pekan, pekan efektif, pekan tidak efektif per tahun.


2. Hitung alokasi waktu per semester Hal-hal yang diperhatikan sama dengan perhitungan alokasi waktu dalam setahun.


3. Menentukan jumlah jam efektif per semester Hal-hal yang diperhatikan adalah :
- Banyaknya pekan efektif pada perhitungan alokasi waktu per semester dikurangi pekan tidak efektifnya. Contoh : Pekan dalam semester ini 26 pekan, yang tidak efektif 9 pekan maka pekan efektif adalah 26-9 =17 Pekan.
- Jam efektif semester adalah hasil perkalian pekan efektif dengan jumlah jam pelajaran per minggu. Misal : Fisika kelas VII Jumlah jam per minggu 2 jam/ kelas. Maka jam pelajaran efektif per semester adalah 17 x 2 jam pel = 34 jam pel.


4. Distribusi alokasi waktu Hal-hal yang diperhatikan adalah :
- Hitung banyaknya kompetensi dasar dalam semester berjalan.
- Tentukan kedalaman dan keluasan materi pada Kompetensi Dasar tersebut.
- Sebarkan jam efektif yang telah dihitung pada setiap Kompetensi Kasar berdasarkan keluasan dan kedalamannya.
- jabarkan hasil penyebaran tersebut pada matriks yang telah dilengkapi dengan bulan dan minggu selama 1 semester dengan memperhatikan juga minggu / hari tidak efektif.


Fungsinya adalah sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga lebih terarah dan berjalan efektif dan efisien.

- Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran. Sekolah/madrasah dapat mengalokasikan lamanya minggu efektif belajar sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. 
Tag :

Membangkitkan Kebangkitan: Paradigma Baru kemandirian

on Rabu, 05 September 2012

Ribut benar acara-acara Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di mana diriku di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukan diriku, maka saya mengandaikan diriku ini cukup penting di tengah orang banyak sehingga ada yang bertanya apa aspirasi saya tentang Kebangkitan Nasional.
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah, nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan. Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan. Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu. Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan” nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah generasi”.

sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
Tag :

HIDUP ADALAH PILHAN

on Rabu, 01 Agustus 2012

Hidup adalah pilihan. 2 sisi yang berbeda, tidak searah, dan bertolak belakang.Masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya. dan tidak ada yang hanya memiliki segi positifnya saja.

Hidup seperti koin yang bersisi dua, setiap saat penuh dengan teka-teki dan misteri. Namun sebagai orang bijak, pilihan harus diambil dengan ketulusan hati nurani.....DAN JANGAN MENYESAL !!!!! karena tidak ada orang yang sukses di muka bumi ini, tanpa pilihan-pilihan hidup yang salah.


"Kami jadikan dua mata, mulut, dua bibir dan Kami buka dua jalan untuk dipilih" (QS 90:9-10).  "Silakan mau beriman, silahkan mau kufur" (QS 18:29).

Rasulullah bersabda, "Semua umatku masuk Syurga kecuali yang tidak mau". "May ya'ba ya Rasulullah? "Siapa yang tidak mau ya Rasulullah", "Siapa yang mentaatiku maka masuk Syurga dan siapa yang durhaka kepadaku maka dia tidak mau masuk syurga".

hidup merupakan suatu pilihan tergantung dari orangnya mau memilih yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki diri kita sendiri. dalam suatu pilihan mengandung resiko entah itu resiko besar maupun kecil.

Mungkin dengan memegang wacana ini, kita mampu bangkit kembali disetiap kegagalan dan kesalahan pilihan dalam hidup kita. Karena tidak ada pilihan yang salah atau pun benar dalam hidup ini. Semua pilihan pasti ada hikmahnya......Sukses adalah rangkaian kebijaksanaan dalam hidup dan perbuatan. Dan Sukses adalah keberanian untuk memilih dan menjalankan pilihan tersebut.

Jadi jelaslah dengan akal sehat sudah tahu haq bathil, halal haram dengan segala akibatnya masing-masing, bukan tidak tahu, tetapi tidak mau. Mulai saat ini jangan lagi katakan, "aku belum mendapat hidayah tetapi katakanlah aku belum mau hidayah".
sumber :
http://www.andriewongso.com/awartikel-724-Artikel_Anda-Hidup_Adalah_Pilihan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/26/m67fwz-hidup-adalah-pilihan

Tag :

Olahraga Sebagai Fenomena Sosial

on Jumat, 20 Juli 2012

Dalam kaitannya dengan olahraga sebagai fenomena sosial dalam sosiologi olahraga ini sangat dikaitkan dengan perkembangan sosial budaya manusia yang sehat jasmani dan rohani, hal ini merupakan pembentukan perkembangan hubungan interaksi dengan masyarakat sekitar. Fenomena sosial ini jika dipahami dan dimengerti bagi masyarakat luas maka akan memiliki peranan yang sangat penting yaitu memberikan kepada semua lapisan masyarakat untuk terlibat langsungdalam berbagai pengalaman belajar melalui interaksi dengan sesama masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain baik itu dari lapisan masyarakat yang pendidikannya rendah sampai masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi.
Dewasa ini perkembangan sosial budaya dalam olahraga banyak fenomena sosial yang berpengaruh terhadap dinamika interaksi sosial-budaya masyarakat. Hal itu sejalan dengan perkembangannya olahraga akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia. Terkait tentang arti pentingnya pendidikan bagi manusia yang mempunyai kesehatan secara lahiriah maupun rohaniah. Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan Sosiologi olahraga jika dipahami dan dimengerti bagi masyarakat luas maka akan memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada semua lapisan masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga dan bersosial antar masyarakat yang satu dengan masyarkat yang lain. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat. Pendidikan memiliki sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Olahraga sebenarnya merupakan suatu bagian dari ilmu-ilmu sosial. Hal ini ditunjukkan, didalam pendidikan olahraga dan ilmu pengetahuan olahraga adalah pendekatan bio-medical, dan sebagai kegiatan organis tubuh manusia saja (STO, 1976), yaitu menurut pendekatan yang selama ini mendominasi pengetahuan olahraga, maka prestasi-prestasi para atlet itu ditentukan oleh kondisi fisik yang sempurna semata-mata (Lueshen, 1998). Kalau dijabarkan, maka menurut pendekatan ini, faktor-faktor yang menentukan suatu prestasi dari suatu kegiatan olahraga dari para atlet itu adalah dimulai dari faktor-faktor kondisi organis dari tubuh yang dianggap paling menentukan ke kepribadian dan sosial, dan lalu faktor-faktor kebudayaan.
Didalam kenyataan, justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu suatu prestasi olahraga yang hebat tidaklah semata-mata ditentukan oleh suatu prestasi olahraga yang hebat tidaklah semata-mata ditentukan oleh suatu kondisi fisik yang sempurna tetapi bahkan sebaliknya ditentukan oleh suatu jumlah kontrol yang merupakan sebagian dari struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, kalau dijabarkan maka urutan-urutan dari suatu prestasi olahraga terjadi dari kebudayaan yang merupakan faktor yang paling menentukan ke faktor faktor sosial, lalu ke kepribadian dan yang terakhir adalah faktor-faktor organik dari tubuh atlet yang bersangkutan. Dalam tulisan ini, yang akan diuraikan olahraga sebagaimana dilihat dari pandangan ilmu-ilmu sosial, dan khususnya hubungan antara olahraga dengan masyarakat dan kebudayaan. Dan pentingnya studi-studi tentang olahraga bagi perkembangan teori-teori ilmu-ilmu sosial dan bagi kepentingan-kepentingan praktis.
Berbicara tentang sosiologi olahraga kaitanya dengan olahraga sebagai fenomena sosial, maka yang akan dibahas dalam makalah ini adalah hubungannya dengan perkembangan interaksi masyarakat atau anak didik dalam mengembangkan sosialisasi perkembangan olahraga. Perkembangan pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.  Sejalan dengan pendidikan yang penulis uraikan diatas maka dalam sejarah dan perkembangan pendidikan olahraga di Indonesia penulis dapat menarik suatu garis yang kian lama kian menanjak. Masyarakat Indonesia yang dinamis akan mengakui bahwa persekutuan hidup itu hidup dan tidak hanya mengalami pengaruh pikiran dan kemampuan manusia individu saja bahkan juga mengalami pengaruh zaman dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini. Olahraga memberi kesempatan yang sangat baik untuk menyalurkan tenaga dengan jalan yang baik di dalam lingkungan persaudaraan dan persahabatan untuk persatuan yang sehat dan suasana yang akrab dan gembira. Tetapi kini kita menghadapi kubu-kubu yang kuat baik yang merupakan alam pikiran, sikap hidup, tradisi dan kebiasaan yang semuanya adalah peninggalan penjajahan ditambah dengan feodalisme semenjak 350 tahun yang lalu. Dan kadang-kadang kubu-kubu itu tidak dapat kita lihat tetapi dapat kita rasakan karena sembunyi di dalam diri manusia. Karena itu kita harus menyelami alam pikiran pandangan dan sikap seseorang untuk dapat membantu dia membuang sisa-sisa penjajahan yang masih bersarang dalam dirinya untuk secara sadar membantu gerakan olahraga.
Dalam hal ini prestasilah yang memegang peranan dan merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Prestasi yang kita miliki selain mengangkat nama dan mengharumkan derajat bangsa Indonesia di dunia, suatu prestasi yang tinggi oleh seorang olahragawan Indonesia dapat membangkitkan dalam diri warga Negara, rasa bangsa yang sebesar-besrnya, semangat kebangsaan yang menyala-nyala dan jiwa persatuan yang sehebat-hebatnya sehingga terbangkit kekuatan-kekuatan baru pada dirinya dan mempunyai hasrat yang benar untuk ikut di dalam gerakan keolahragaan. Dalam dunia keloahragaan banyak kaitannya dengan bagaimana cara beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan, Maka ilmu pendidikan sosiologi harus di fahami dan diterapkan oleh masyarakat terutama para olahragawan.
Tag :

media pembelajaran..

on Kamis, 28 Juni 2012


Tag :

kiai kanjeng & caknun kuncine lawang swargo

on Rabu, 11 April 2012



Tag :

pendidikan jasmani

on Selasa, 27 Maret 2012


PENDAHULUAN
Pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Sementara itu, pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Tujuan utama diterapkannya program sertifikasi guru, termasuk terhadap guru pendidikan jasmani, adalah meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan semakin meningkat. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman, 2007; Rink, 2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik (Siedentop & Tannehill, 2000). Keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sejumlah negara, misalnya Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat, berusaha mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan adalah intervensi langsung menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai dengan melaksanakan sertifikasi guru.



PEMBAHASAN
Pendidikan Jasmani
Pendidikan Jasmani, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan istilah lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, merupakan salah satu mata pelajaran yang disajikan di sekolah, mulai dari SD sampai dengan SMA. Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (CDC, 2000; Disman, 1990; Pate dan Trost, 1998).
Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi dalam aktivitas fisik dan olahraga yang sekaligus juga merupakan kontributor penting bagi kesejahteraan dan kesehatan siswa (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and Laraine, 1994; Stran and Ruder 1996; CDC, 2000). Untuk itu tidak mengherankan, peningkatan kualitas dan efektivitas proses belajar mengajar (PBM) Pendidikan Jasmani selalu menjadi fokus perhatian semua pihak yang peduli terhadap pendidikan.
Peran Guru dalam Pembelajaran
Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani sebagaimana diuraikan di atas secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus pada perilaku mengajarnya itu sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi utama guru pada saat melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions occupy most of the attention of physical educators as they teach: managing students, directing and instructing students, and monitoring/supervising students”
Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar, mengarahkan formasi atau peralatan, memelihara rutinitas baik yang bersifat akademis maupun non akademais termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing and instructing students meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok, dan kegiatan penutup. Monitoring merujuk pada perilaku observasi guru terhadap siswa secara pasif, sedangkan supervising merujuk pada perilaku guru yang ditujukan untuk memlihara siswa tetap aktif belajar seperti mengarahkan, mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial (behavioral interactions) maupun penampilan belajar siswa (skill interactions).
Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut, “identifying outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the learning environment, monitoring the learning environment, developing the content, and evaluating”.
Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun keduanya sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembelajaran Pendidikan Jasmani. Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu pada saat menjalankan siklus Movement Task-Student Response to Task hingga fungsi lainnya seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan pendapat yang kedua lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan (identifikasi hasil belajar dan perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal mengingat siklus Movement Task-Student Response to Task merupakan bagian kritis dari proses pembelajaran sehingga fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar (teaching skills) yang pokok seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.
Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang diketahui (what they know), apa yang diyakini (what they believe), minat (interest), keterampilan (skills), dan kepribadian (personality) gurunya itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Ring (1993) mengenai fungsi mengajar yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang ditampilkannya pada saat mengajar daripada hanya sekedar terpokus pada “perilaku” mengajarnya itu sendiri.
Walaupun para guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar, kriteria dan prinsip efektivitas pembelajaran yang sifatnya umum masih tetap bisa dibuat, misalnya: penyampaian tugas gerak yang baik membuahkan siswa memahami cara melakukannya demikian juga tujuannya. Hal ini perlu diketahui oleh setiap guru sebagai alat untuk mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran yang dilakukannya. Demikian juga berbagai teknik dan keterampilan mengajar perlu diketahui dan dimiliki para guru agar dapat diterapkan dan disesuaikan dengan konteks tempat mereka mengajar Pendidikan Jasmani.

Waktu Aktif Belajar Dan Jumlah Siswa Aktif (%) Dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Secara umum, dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa rerata proporsi waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40% merupakan indikator yang termasuk dalam katagori baik. Oleh karena kompetensi pedagogis guru pendidikan jasmani termasuk kategori bagus. Namun demikian apabila dianalisis berdasarkan masa kerja terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin menurun kompetensi pedagogisnya. Kondisi yang demikian sudah merupakan suatu ironi. Lazimnya, masa kerja berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki. Ada kemungkinan hal ini terjadi karena kurang efektifnya mekanisme evaluasi dan supervisi pelaksanaan pembelajaran. Longgarnya sistem tersebut seolah memberikan peluang bagi guru untuk melakukan tugas tidak sebagaimana yang dituntut.
a.    Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini diukur dengan menggunakan angket yang berisi tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh pada saat pre-service training dan in-service training. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi profesional pada saat pre-service, yakni ketika mereka ada di perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang, yakni sebesar 52,78% dan hanya 5,56% yang menyatakan memadai. Kondisi tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Jika pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan sebagai bekal menjalankan profesi guru masih jauh dari apa yang diharapkan, bisa dibayangkan bagaimana mereka dapat menjalankan tugas secara profesional. Sudah barang tentu, hal ini menjadi catatan penting bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene mencetak calon-calon guru. Minimnya pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training tampaknya juga berpengaruh pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11% menyatakan bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara profesional. Mereka yang menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78% yang menyatakan sangat layak. Ketika mereka ditanya bekal apa saja yang dirasa kurang? Sebesar 22,73% menyatakan kekurangan dalam bidang keilmuan; 27,27% merasa kurang dalam hal teaching skill; dan 25% menyatakan kekurangan dalam hal substansi cabang olahraga. Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat di Perguruan Tinggi Logikanya, ketika bekal matakuliah dari perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang, mestinya para guru diberi kesempatan seluas-luasnya untuk akses terhadap upaya peningkatan kompetensi profesionalnya. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Justru dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa 83,33% mereka menyatakan sangat kurang mendapatkan akses. Sebanyak 13,89% menyatakan cukup dan 0% menyatakan memadai. Ironi memang! Tetapi itulah realitas yang terjadi.
b.    Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merujuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang menyedihkan adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi kepribadian. Semakin lama masa kerja, semakin menurun kompetensi kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua aspek, mulai dari kejujuran, kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi. Tampaknya, hasil ini linier dengan kompetensi pedagogis sebagaimana dikemukakan di atas. Hal ini semakin meneguhkan bahwa mereka, dalam hal ini guru pendidikan jasmani, kurang mendapatkan pembinaan yang memadai. Perlu diberi catatan di sini bahwa guru pendidikan jasmani merupakan komunitas dengan ciri khusus. Komunitas tersebut memiliki solidaritas yang tinggi, ikatan moral yang longgar, dan pragmatis. Solidaritas tanpa diikuti bimbingan moral memiliki kecenderungan untuk melahirkan tindakan-tindakan yang dari perspektif kepribadian kurang terpuji. Misalnya karena alasan pertemanan rela melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kejujuran, kedisiplinan, dan keterbukaan. Demikian juga dengan semangat pragmatisme yang mengedepankan prinsip ”pokoknya jalan” pada gilirannya cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap etos kerja dan inovasi.
c.    Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi sosial? Sebagaimana yang terjadi pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada kompetensi sosial. Penjelasan yang diberikan pada kompetensi kepribadian dapat juga diterapkan pada konteks kompetensi kepribadian.
Gambaran Penggunaan Waktu oleh Guru Pendidikan Jasmani
Persoalan lain terkait dengan kondisi kualitas guru pendidikan jasmani adalah bagaimana mereka menggunakan waktu. Penggunaan waktu merupakan cerminan bagaimana seseorang mengisi hidupnya dengan aktivitas-aktivitas yang berdampak bagi dirinya.
Menurut Jansen (1995), secara garis besar penggunaan waktu dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni waktu untuk kebutuhan dasar (existence time), waktu produktif (subsistence time), dan waktu rekreatif (free time) yang masing-masing secara berturut-turut alokasinya adalah 10 jam, 9 jam, dan 5 jam. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan waktu guru pendidikan jasmani relatif optimal, apalagi terkait dengan penggunaan waktu produktif. Bagaimana halnya dengan penggunaan waktu yang terkait dengan peningkatan profesionalisme? Dari data lapangan ditemukan bahwa angkanya sebesar 0,7 jam atau 42 menit per hari pada kelompok subjek masa kerja lima tahun ke bawah. Sementara itu pada kelompok subjek masa kerja sepuluh tahun ke atas sebesar 0,4 jam atau 24 menit per hari.
Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana peningkatan pengetahuan yang diperoleh. Yang jelas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi jika dalam waktu tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Kondisi yang demikian tentu sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya waktu yang digunakan oleh seseorang untuk mengerjakan sesuatu merupakan indikator penting bagaimana orang yang bersangkutan berkomitmen kepada profesinya.
KESIMPULAN
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas guru pendidikan jasmani masih sangat memprihatinkan, terutama pada kompetensi profesional, kepribadian, dan sosial. Secara lebih khusus dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.    Kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran.
2.    Kompetensi profesional pada saat pre-service maupun in-service dirasa masih sangat kurang.
3.    Kompetensi kepribadian guru relatif tinggi. Kompetensi kepribadian guru dipengaruhi oleh masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi kepribadiannya.
4.    Kompetensi sosial guru relatif tinggi. Kompetensi sosial guru dipengaruhi oleh masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi sosialnya.
Gambaran penggunaan waktu dalam sehari, sebanyak 8,5 jam untuk kebutuhan dasar; 12,05 jam untuk kegiatan produktif; dan 3,45 jam untuk kegiatan rekreatif. Dan Pemanfaatan waktu untuk pengembangan profesionalisme guru pendidikan jasmani masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari. Guru dengan masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan kebutuhan dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif.




pendidikan jasmani
Tag :
 
© Berbagi Ilmu Olahraga | All Rights Reserved
Designed ByImuzcorner | Powered ByBlogger | RealMadrid CF Blogger Template ByFree Blogger Template