Home > Archives for 2012
Siswa SDN 1 Karanganyar, Purwanegara, Banjarnegara
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Senin, 12 November 2012 at 21.40
Jabal Musa: 2750 Trap Curam Menuju Tangis
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Selasa, 18 September 2012 at 23.37
Kalau tidak karena ada Nabi Musa di puncak sana, tak maulah
capek-capek naik ke Gunung Katerina alias Jabal Musa. Dari pos
berhentinya bis menuju awal pendakian gunung yang pertama saja mending
jalan kaki Jombang-Surabaya. Setelah itu harus mendaki jalan naik
rata-rata 30 derajat, berkelok-kelok, melintir-melintir seperti
menelusuri badan ular raksasa yang amat sangat panjang — ular raksasa
yang meliliti dua gunung.
Jalanan sangat kering, debu dan batu-batu. Mungkin ada satu dua helai
rumput berwarna coklat kering, tapi jangan bayangkan ada warna hijau,
jangan berharap ada satu tanaman atau apalagi pepohonan yang rimbun
sebagaimana gunung-gunung di tanah air.
Udara sangat dingin, angin berhembus menusuk-nusuk tulang. Semakin ke
atas semakin deras angin menyerbu. Semakin ke atas semakin mendekati
titik beku — sekitar 2 atau 3 derajat Celcius. Siapakah rombongan gila
yang mendaki gunung Musa di musim dingin ini? Apakah mereka
pendaki-pendaki gunung yang berpengalaman? Kenapa tidak menunggu musim
panas, agar badan tidak membeku? Apakah mereka berpakaian rangkap 18?
Apakah mereka menyangka angin Firaun tidak mampu menembus 18 lapisan
kain tebal? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka kepanasan di
Cengkareng?
Di ujung ekor sang ular di leher gunung yang kedua, tiba-tiba,
sesudah ada lorong panjang yang membelah batu-batu raksasa — terdapat
jalanan yang menurun. Semua warga Kiai Kanjeng bersorak-sorak! Sesudah
pendakian sangat panjang yang sangat melelahkan dan mencopot dengkul — kini jalanan sudah menurun, berarti inilah puncaknya!
Mereka menghentikan langkah, duduk di batu-batu sekenanya, atau
menyandarkan punggung, Yudi bahkan langsung melingkar, tidur, dan
mengorok. Di beberapa bagian jalanan, ketika rombongan beristirahat —
Yudi punya keahlian sendiri: ada beberapa menit istirahat ia gunakan
untuk mengorok. Luar biasa bahagia hidupnya.
Tapi ternyata rombongan itu GR. Di ujung jalanan yang sedikit menurun itu tampak samar-samar ada jalanan batu-batu sangat curam yang menaik sampai ke langit…
Rombongan masih harus mendaki gunung ketiga, gunung yang sebenarnya.
Kaki mereka yang rasanya bukan hanya sangat pegal-pegal tapi juga
rasanya sudah tidak ada kaki — masih harus mendaki trap-trap batu curam
60 derajat ke atas sebanyak 2750 trap Mampus mampuslah mampus. Almampusu malmampusu wama adroka malmampus…ini benar-benar kal-ihnil manfuuuusss….
Kalau sesudah mendaki dua gunung lantas di 2750 trap ini Anda sanggup
menapak naik langsung sampai 20 langkah tanpa berhenti, berarti Anda
belum punya penyakit dalam dan kaki Anda masih bisa dipakai untuk
pertandingan sepakbola. Kalau Anda keberatan perut, jantung tidak fresh,
atau ada suatu penyakit dalam tubuh — berhentilah sebelum naik trap,
cari onta dan suruh dia mengantarkan Anda turun ke bumi.
Kalau 10 langkah berhenti 10 langkah berhenti masih bisa, cobalah
mendaki sampai tuntas. Saya dirahmati Allah karena berjalan bersama
Ustadz Jamal dari Departemen Kebudayaan Mesir, yang badannya besar dan
agak gemuk sehingga sangat kecapekan dan sangat lamban mendaki. Bersama
kami juga ada Ustadz Muhammad Nur Shamad, Atdikbud KBRI yang juga
selemah saya. Tidak tega saya meninggalkannya. Nanti pasti saya akan
kalah duluan sampainya ke puncak — dan saya punya alasan: “Aduh saya
tidak tega sama Ustadz Jamal….”. Padahal saya bersyukur mendaki
bersamanya, karena kalau beberapa langkah beliau berhenti, saya juga
bersyukur punya alasan yang indah untuk berhenti. Seakan-akan saya
toleran kepadanya, padahal saya memang benar-benar capek.
Mbak Via bahkan termasuk juara pertama bersama Bobiet, Cak Fuad dan
Irfan. Para juara ini menempuk perjalanan sekitar 4,5 jam, sempat shalat
subuh di puncak, sementara lainnya ada yang 5 jam ada yang 5,5 jam.
Ananto, Bayu dan Jijit tidak ikut mendaki karena dalam keadaan sakit.
Nia, Yuli dan Roh, juga mengambil keputusan yang arif: tidur di
penginapan, sebab kalau sampai putri-putri ini ikut naik, lantas
resikonya harus digotong pulang dari atas gunung — siapa yang akan kuat
menuruni gunung seram dan medan sangat berat itu dengan menggendong
orang lain?
Yang mengagumkan adalah bahwa SP Joko dan Islamiyanto sanggup
menuntaskan perjuangan sampai puncak. Seabagaimana Yudi, Islami juga
banyak menyempatkan diri untuk tidur di pos-pos peristirahatan. Sp Joko
ternyata diberi tenaga oleh Allah melalui calon anaknya: “Hari ini
adalah HPL kelahiran anak saya, sehingga saya berniat tirakat sampai
tuntas demi anak saya….”
Rahmat sempat naik onta di gunung pertama dan kedua. Semula ia memang
berniat tidak berangkat, tapi setengah saya paksa untuk pergi dari
penginapan. Di leher gunung kedua ia juga sudah memutuskan untuk tidak
meneruskan, tapi saya paksa dan saya pelototi. Akhirnya ia sukses sampai
ke puncak, dan bahkan turunnya berlari menuruni tiga gunung.
Nevi merasa jari-jarinya lenyap karena berani-beraninya tidak pakai
sarung tangan. Joko Kamto berwirid sepanjang pendakian “YaaHu YaaHu
Yaahu…” dan tercapai. Giyanto dan Ardani terbiasa hidup keras di
desanya. Yoyok dan semua teman lainnya tidak pernah kehabisan alasan
untuk ndagel dan mengejek diri mereka sendiri sehingga lulus dengan penuh kegembiraan.
Pakde suntuk khusyu menghayati sesuatu di dalam dirinya dan hanya ia
yang tahu kenapa untuk menaklukkan sesuatu itu ia mendaki tiga gunung
tanpa memakai sepatu atau sendal melainkan hanya pakai kaos kaki. Dan,
tentu saja, Pakde, gelandang kesebelasan MAS ini lulus dengan mulus.
Bobiet menjadi salah satu juara karena sejak di Jogja dia sudah
mematerikan niat bulat istiqamah total bahwa ke manapun KiaiKanjeng
pergi ia mewajibkan dirinya untuk berdiri di depan dan tidak akan
membiarkan dirinya berputus apa oleh apapun juga.
Cak Fuad punya metode sendiri. Ia sangat stabil berjalan naik dan
berjalan turun. Konstan, tidak ada keluhan, tidak tersendat-sendat.
Rupanya diam-diam ia mempraktekkan bahwa ketika naik 2750 trap curam itu
kalau berjalan miring ternyata lebih ringan dan tidak sangat kelelahan.
Di puncak Jabal Musa Cak Fuad mewawancarai penjual wedangan….Bagaimana
orang ini kok jualan teh kopi di puncak gunung? Kita membawa badan
kosongan saja mau mati rasanya, lha dia membawa semua peralatan
warungnya ke sini bagaimana caranya?
“Bapak ini bukan hanya seorang penjual minuman. Dia mengerti sejarah,
hapal ayat-ayat dan memiliki logika berpikir yang tidak kalah dibanding
profesor-profesor ilmu Agama di Indonesia. Dua minggu dia jualan di
atas, dua minggu ia bersama keluarganya di bawah sana….”
Yang Cak Fuad tidak mengerti adalah Mbak Via itu mendaki demikian
beratnya, bawa kamera, dan sepanjang pendakian terus omong
bercerita-cerita dan melucu. Padahal omong satu kalimat saja irama napas
akan terganggu karena sepanjang 5 jam itu kami semua dalam keadaan
tersengal-sengal.
Dan ketika kami maiyahan di Musholla, setapak di atas tempat Nabi
Musa AS bertapa melakukan uzlah 40 hari — Mbak Via untuk pertama kalinya
berbicara agak panjang. Sambil menangis mengguguk-guguk, dan memang
semua yang berbicara pagi itu di puncak Jabal Musa, tak seorangpun yang
tak menangis. Mbak Via menyatakan rasa syukur kepada Allah bahwa delapan
tahun terakhir dalam hidupnya ini Allah menganugerahkan pengalaman,
nilai-nilai, kebahagiaan dan segala sesuatu yang luar biasa nikmatnya —
yang tak mungkin ia dapatkan jika ia menjadi artis di Jakarta.
Memang demikian pulalah yang diperoleh oleh Kiai
Kanjeng….pengalaman-pengalaman sosial, spiritual, kultural, yang luar
biasa, yang sangat luas skalanya, yang sangat multi-dimensional. Tidak
sebagaimana layaknya grup musik. Jangankan ketika di Indonesia: maiyahan
dan main musik di pinggir hutan bersama blandong-blandong, di Dolly
tempat pelacuran terbesar se Asia Tenggara, di hotel-hotel mewah, di
gedung-gedung tinggi, di kalangan jetset, di desa-desa terpencil, di
kampung-kampung kumuh di mana tempat sampah disulat menjadi panggung, di
tambah ikan, di perahu antar pulau, di pesawat, di gunung-gunung,
bersama pejabat dan tukang becak, bersama pengusaha dan preman-preman….
Bahkan selama di Mesir KiaiKanjeng berjumpa dengan penonton umum di
Cairo, pelajar-pelajar dari TK sampai universitas di Ismailia, para VIP
di Alexandria, mengiringi penyanyi-penyanyi di AlFayoum, outdoor bersama
Ibu-Ibu di Tanta, segala macam segmen masyarakat. KK maiyahan di perahu
sungai Nil, di sisi piramid-piramid dan spinx, di Istana Faruq, di
pasar, di jalanan-jalanan, jangankan lagi di Masjid maqam Imam Syafii,
Imam Badawi, Imam Busyiri, Imam Husein….
Di puncak Musa itu rasanya seperti Mi’raj. Kalau mendaki Semeru atau
Merapi, ada siapa di atas sana? Di sinilah Musa mengambil jarak dari
kaumnya yang bikin pusing, yang ia titipkan padsa Harun, tapi kemudian
dikhianati oleh Samiri. Di sisi tembok batu itulah Musa bersemedi. Allah
membentaknya dengan meledakkan gunung sampai beliau pingsan — tampak
benar bekas ledakan itu: gunung-gunung anakan, yang bentuk dan tekture
bebatuannya seperti cair, karena dulunya adalah lava-lava atau seperti
bulatan-bulatan lendir raksasa….
Kemudian Musa turun dari puncak ini, kemudian berjalan sekitar 1300 km mencari Khidlir….
Ketika sekitar pukul 9 pagi, usai maiyahan, kami turun — ya Rabb,
tampak betapa jauhnya kami di atas. Memandang ke bawah, gigir-gigir
batu, trap-trap jauh jauh jauh ke bawah, dan ini baru satu gunung. Tentu
saja kami melangkah turun dengan penuh kegembiraan, tapi siapapun yang
punya kecerdasan segera tahu bahwa perjalanan turun ini juga bukan
perjuangan yang ringan.
Turun dari trap ke trap, kemudian masih melingkar-lingkar meliuk-liuk
di dua gunung berikutnya. Dan ketika sudah menyelesaikan tiga gunung,
ternyata ularnya masih sangat panjang dan tampak dari kejauhan. Ya
Allah, kaki kami harus melangkah sekian ribu kali lagi menuju ke planet
Mars nun jauh di sana itu….
Dan ketika kami menoleh ke atas, kami hampir pingsan: Bagaimana
mungkin kita tadi sampai di atas sana? Memandang ketinggian gunung
pertama saja sudah awang-awangen, padahal Jabal Musa yang bertrap-trap
itu tak kelihatan dari kerendahan dibalik gunung yang pertama. Ya Allah,
kalau kami mendaki di siang hari, dan sambil berjalan tampak betapa
tinggi dan jauh yang harus kami tempuh….demi Allah kami akan dipenuhi
oleh rasa putus asa. Ya Allah, jika tadi malam mata kami bisa melihat ke
atas sana, tak mungkin kami sanggup menempuhnya…kami hanya akan titip
salam untuk Nabi Musa.
Ya Allah kami bisa sampai di puncak Gunung Kalimullah-Mu hanya
dengan dua dorongan. Pertama, kerinduan untuk duduk di tempat uzlahnya
Musa AS. Kedua, ketidak-tahuan bahwa ternyata tempatnya begitu jauh dan
medannya begitu berat.
Ya Allah kami bisa bertahan untuk meneruskan mendaki, pertama karena
semangat spiritual. Kedua, karena alhamdulillah ada warung-warung
minuman di sejumlah pos, ada rokok dan banyak teman. Itupun jalanan yang
kami tempuh sudah ditata rapi. Sedangkan Musa-Mu naik mencari jalan
sendiri, tanpa warung, tanpa rokok, hanya berbekal iman dan kerinduan
kepadaMu….
sumber : http://www.kiaikanjeng.com/blog/jabal-musa-2750-trap-curam-menuju-tangis/
sumber : http://www.kiaikanjeng.com/blog/jabal-musa-2750-trap-curam-menuju-tangis/
Membangkitkan Kebangkitan: Paradigma Baru kemandiria
Posted by Sdn 1 tumbang langkai at 23.35
Ribut benar acara-acara Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di
mana diriku di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukan diriku,
maka saya mengandaikan diriku ini cukup penting di tengah orang banyak
sehingga ada yang bertanya apa aspirasi saya tentang Kebangkitan
Nasional.
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari
diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai
bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah,
nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke
mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang
diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada
generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana
kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah
transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa
eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan
lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap
orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk
dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh
dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih
baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru
memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan.
Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang
menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan
parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau
belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk
menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat
dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada
pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun
dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang
masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari
mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu
mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk
akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money
adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali
konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama
dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan
laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan
menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai
sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi
yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang
tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya
terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia.
Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada
proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan
langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan.
Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga
dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan
yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu
remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling
menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak
untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan
kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi
masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu
diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar
kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan
disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna
substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama.
Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi
perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan
politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan
bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu.
Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita
harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita
teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh
konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal
sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar.
Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus
kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun,
tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan”
nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah
generasi”.
sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
Dari Sunan Kalijogo ke Kedaulatan Pangan
Posted by Sdn 1 tumbang langkai at 23.33
Kamis, 1 Juli kemarin, Cak Nun diminta berceramah pada acara Temu
Tani & Nelayan Nasional yang diselenggarakan oleh Majelis
Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyyah bertempat di P4TK Matematika
Yogyakarta. Topik yang diberikan kepada Cak Nun adalah “Budaya Agraris
di Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok.
Di hadapan sekitar 120 peserta yang terdiri atas unsur-unsur
Muhammadiyyah dan perwakilan petani dan nelayan, Cak Nun mengatakan,
“Sudah pasti saya tidak paham masalah pertanian. Tetapi yang saya akan
kemukakan nanti justru terkait dengan strategi Muhammadiyyah.”
Menariknya, sebelum sampai ke poinnya, Cak Nun juga bercerita tentang
sejarah agraris di Indonesia dikaitkan dengan kiprah Sunan Kalijogo.
Sesuatu yang jarang diperhatikan orang. Pada mulanya kerajaan Majapahit
yang dalam versi yang diperkenalkan Cak Nun ada kemungkinan berpusat di
Sidoarjo. Waktu itu, di wilayah Sidoarjo, terjadi deformasi tanah akibat
pergerakan lempeng bumi dari wilayah pegunungan Kendeng Pati dan
seterusya hingga ke Sidoarjo, sehingga tanah di Sidoarjo mengandung
lumpur. Ini berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas pertanian
di Majapahit. Majapahit pun kemudian mengalami kemunduran.
Peralihan dari kemunduran Majapahit menuju tahap sejarah selanjutnya
dikawal oleh Sunan Kalijogo. Menurut Cak Nun, Sunan Kalijogo adalah
seorang pendekar dan strateg sehingga ia bisa meyakinkan para petinggi
Majapahit bahkan mereka bisa masuk Islam, bahkan juga Brawijaya V ikut
masuk Islam. Kependekaran dan kestrategan inilah yang membuat Sunan
Kalijogo mampu mengintegrasikan budaya agraris Majapahit dengan budaya
pesisir Pantai Utara.
Peralihan ini terbagi ke tiga arah. Pertama ke Demak. Kedua, ke
daerah Cetho dekat Gunung Lawu, dan ketiga, ke Selatan (Sabdopalon
Nyogenggong). Peralihan ini bisa dikatakan sebagai eksperimentasi dari
budaya agraris ke budaya pesisir, meskipun ini hanya berhasil selama
beberapa tahun saja. Terutama wilayah Mataram yang tetap saja agraris,
karena pantai Selatan bukanlah wilayah persentuhan dengan dunia global,
sebagaimana Pantura.
Sejarah itu berlanjut hingga datangnya kolonial Belanda dengan
VOC-nya, disambung politik etis kultur stelsel Van Deventer yang membuka
politik tertutup agraris dengan dunia budaya global, sampai dipertegas
kembali oleh kebijakan politik Pak Harto pada 1968 melalui kebijakan
politik terbuka (dengan perjanjian 30 tahun pasar bebas). Hingga saat
ini tiba pada masa—istilah Cak Nun—ultraliberalisme. Cak Nun memberi
contoh bahwa banyak sawah-sawah yang tidak lagi dimiliki para petani
atau orang setempat. Tambak-tambak juga banyak yang dimiliki oleh orang
luar daerah. Juga mall-mall. Maka Cak Nun berpesan bila memang
Muhammaddyyah hendak nyunggi wakule petani dan nelayan janganlah
gembelengan.
“Kita dikepung oleh ultraliberalisme. Pertanyaannya sekarang adalah
apakah kita punya kedaulatan. Ada dua pilihan bagi Muhammadiyyah.
Pertama, dengan kekuatan dan kohesi jaringannya yang berskala nasional,
apakah Muhammadiyyah akan memilih kedaulatan itu, sekurang-kurangnya
kedaulatan bisa dilakukan di kalangan Muhammadiyyah sendiri, tanpa
“mengganggu” negara. Umpamanya, para petani Muhammadiyyah menjual hasil
pertaniannya (padi, beras, dll) ke kelas menengahnya Muhammadiyyah, dan
seterusnya. Kedua, karena titik-titik menyangkut pertanian terletak pada
kebijakan pemerintah, maka Muhammadiyyah harus berpikir dan bekerja
keras untuk melahirkan pemimpin nasional yang punya konsern dan
perjuangan pada soal pertanian ini. Jika memilih pilihan ini, maka sejak
sekarang Muhammadiyyah harus mencanangkannya sejak sekarang. Dengan
kata lain, ambil kedaulatan pangan itu,” papar Cak Nun.
Lebih jauh Cak Nun menegaskan, “Jadi, Muhammadiyyah akan membikin
konsep integrated farming saja, semacam kegiatan LSM, ataukah akan
menegakkan kedaulatan pangan nasional dengan menyiapkan kepemimpinan
nasional yang perlu disiapkan sejak sekarang, yang manakah yang akan
dipilih? Diskusi ini sendiri akan berorientasi ke mana? Berorientasi
pada yang pertama saja juga sangat oke dan saya bisa memafhumi, tetapi
jika memilih yang kedua sangat bagus, dan inilah sebenarnya yang perlu
digagas dalam Muktamar seabad Muhammadiyyah kali ini.”
Rangkaian acara temu tani dan nelayan nasional ini sendiri juga dalam
rangka menyambut dan menyemarakkan Muktamar seabad Muhammadiyyah yang
digelar di Yogyakarta 3-8 Juli 2010. Dalam rangkaian Muktamar itu
sendiri, Cak Nun dan KiaiKanjeng juga diminta terlibat dalam sejumlah
perhelatan Mukatamar, di antaranya persembahan musik KiaiKanjeng,
mengiringi tari kolosal flashlamp Collosal dance Didik Nini Thowok,
berkolaborasi dengan Orkestra Dwiki Darmawan, pada acara tanggal 3 malam
di stadion Mandala Krida, serta nanti akan dua kali bermaiyahan dengan
muktamirin.
sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/liputan/dari-sunan-kalijogo-ke-kedaulatan-pangan/
pErEnCaNaAn PeMbElAjArAn
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Senin, 10 September 2012 at 08.30
Macam-macam perangkat pembelajaran
Rencana Minggu Efektif (RME)
Adalah hitungan hari-hari efektif yang ada pada tahun pelajaran berlangsung.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam menentukan jumlah ME :
- Menentukan jumlah minggu selama satu tahun.
- Menghitung jumlah minggu tidak efektif selama satu tahun.
- Menghitung jumlah minggu efektif dengan cara jumlah minggu dalam satu tahun dikurang jumlah minggu tidak efektif .
- Menghitung jumlah jam efektif selama satu tahun dengan cara jumlah minggu efektif dikali jumlah jam pelajaran per minggu
Program Tahunan
Adalah rencana penetapan alokasi waktu satu tahun untuk mencapai tujuan (SK dan KD) yang telah ditetapkan.
Langkah Penyusunan Program tahunan :
- Mengidentifikasi jumlah KD dan indikator dalam satu tahun
- Melakukan pemetaan KD untuk tiap semester
- Menentukan alokasi waktu untuk masing-masing KD berdasarkan kedalaman dan keluasan KD.
- Mengidentifikasi jenis kegiatan di luar KBM dan waktu yang dibutuhkan ( UAS, UKK, UNAS, libur setelah ulangan, libur awal puasa, LHR, EF, dsb)
Program Semester
adalah program yang berisikan garis-garis besar mengenai hal-hal yang hendak dilaksanakan dan dicapai dalam semester tersebut.
Program semester merupakan penjabaran dari program tahunan. Isi dari program semester adalah tentang bulan, pokok bahasan yang hendak disampaikan, waktu yang direncanakan, dan keterangan-keterangan.
Program semester berisikan garis-garis besar mengenai hal-hal yang hendak dilaksanakan dan dicapai dalam semester tersebut. Pada umumnya program semester ini berisikan:
- Identitas (satuan pendidikan, mata pelajaran, kelas/semester, tahun pelajaran)
- Format isian (standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, jumlah jam pertemuan (JJP), dan bulan).
Kalender Pendidikan
Penyusunan kalender pendidikan selama satu tahun pelajaran mengacu pada efesiensi, efektifitas dan hak-hak peserta didik.
CARA MENYUSUN PROGRAM SEMESTER DAN PROGRAM TAHUNAN
Posted by Sdn 1 tumbang langkai at 08.12
CARA MENYUSUN PROGRAM SEMESTER DAN PROGRAM TAHUNAN
1. Hitung alokasi waktu dalam setahun berdasarkan kalender pendidikan yang diterbitkan oleh satuan pendidikan.. Hal – hal yang diperhatikan adalah :
- banyaknya pekan dalam setiap bulan
- jumlah pekan efektif per bulan (pekan dimana terjadi KBM)
- jumlah pekan tidak efektif (pekan dimana tidak terjadi KBM misal HUT Sekolah, Hari libur umum dll)
- total pekan, pekan efektif, pekan tidak efektif per tahun.
2. Hitung alokasi waktu per semester Hal-hal yang diperhatikan sama dengan perhitungan alokasi waktu dalam setahun.
3. Menentukan jumlah jam efektif per semester Hal-hal yang diperhatikan adalah :
- Banyaknya pekan efektif pada perhitungan alokasi waktu per semester dikurangi pekan tidak efektifnya. Contoh : Pekan dalam semester ini 26 pekan, yang tidak efektif 9 pekan maka pekan efektif adalah 26-9 =17 Pekan.
- Jam efektif semester adalah hasil perkalian pekan efektif dengan jumlah jam pelajaran per minggu. Misal : Fisika kelas VII Jumlah jam per minggu 2 jam/ kelas. Maka jam pelajaran efektif per semester adalah 17 x 2 jam pel = 34 jam pel.
4. Distribusi alokasi waktu Hal-hal yang diperhatikan adalah :
- Hitung banyaknya kompetensi dasar dalam semester berjalan.
- Tentukan kedalaman dan keluasan materi pada Kompetensi Dasar tersebut.
- Sebarkan jam efektif yang telah dihitung pada setiap Kompetensi Kasar berdasarkan keluasan dan kedalamannya.
- jabarkan hasil penyebaran tersebut pada matriks yang telah dilengkapi dengan bulan dan minggu selama 1 semester dengan memperhatikan juga minggu / hari tidak efektif.
Fungsinya adalah sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga lebih terarah dan berjalan efektif dan efisien.
- Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran. Sekolah/madrasah dapat mengalokasikan lamanya minggu efektif belajar sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
1. Hitung alokasi waktu dalam setahun berdasarkan kalender pendidikan yang diterbitkan oleh satuan pendidikan.. Hal – hal yang diperhatikan adalah :
- banyaknya pekan dalam setiap bulan
- jumlah pekan efektif per bulan (pekan dimana terjadi KBM)
- jumlah pekan tidak efektif (pekan dimana tidak terjadi KBM misal HUT Sekolah, Hari libur umum dll)
- total pekan, pekan efektif, pekan tidak efektif per tahun.
2. Hitung alokasi waktu per semester Hal-hal yang diperhatikan sama dengan perhitungan alokasi waktu dalam setahun.
3. Menentukan jumlah jam efektif per semester Hal-hal yang diperhatikan adalah :
- Banyaknya pekan efektif pada perhitungan alokasi waktu per semester dikurangi pekan tidak efektifnya. Contoh : Pekan dalam semester ini 26 pekan, yang tidak efektif 9 pekan maka pekan efektif adalah 26-9 =17 Pekan.
- Jam efektif semester adalah hasil perkalian pekan efektif dengan jumlah jam pelajaran per minggu. Misal : Fisika kelas VII Jumlah jam per minggu 2 jam/ kelas. Maka jam pelajaran efektif per semester adalah 17 x 2 jam pel = 34 jam pel.
4. Distribusi alokasi waktu Hal-hal yang diperhatikan adalah :
- Hitung banyaknya kompetensi dasar dalam semester berjalan.
- Tentukan kedalaman dan keluasan materi pada Kompetensi Dasar tersebut.
- Sebarkan jam efektif yang telah dihitung pada setiap Kompetensi Kasar berdasarkan keluasan dan kedalamannya.
- jabarkan hasil penyebaran tersebut pada matriks yang telah dilengkapi dengan bulan dan minggu selama 1 semester dengan memperhatikan juga minggu / hari tidak efektif.
Fungsinya adalah sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga lebih terarah dan berjalan efektif dan efisien.
- Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran. Sekolah/madrasah dapat mengalokasikan lamanya minggu efektif belajar sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
Membangkitkan Kebangkitan: Paradigma Baru kemandirian
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Rabu, 05 September 2012 at 00.06
Ribut benar acara-acara Kebangkitan Nasional, dan saya cari-cari di
mana diriku di tengah keramaian itu. Berhubung tidak menemukan diriku,
maka saya mengandaikan diriku ini cukup penting di tengah orang banyak
sehingga ada yang bertanya apa aspirasi saya tentang Kebangkitan
Nasional.
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah, nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan. Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan. Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu. Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan” nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah generasi”.
sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
Tag :
Agust Sarengatz
Nekad sayapun menulis tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku, yakni nilai-nilai yang melandasi sikap untuk bangkit sebagai bangsa, dengan judul ‘sombong’ sebagaimana yang Anda baca. Pastilah, nilai yang diyakini dan dilaksanakan seseorang akan propagate ke mentalitas dan kualitas decision making yang seseorang itu. Nilai yang diyakini dan dilaksanakan sebuah generasi akan membawa perubahan pada generasi tersebut dan berpengaruh pada generasi setelahnya.
Coba saya tuliskan sejumlah konten sikap dasar itu, memulai dari diriku sendiri, misalnya:
Mendapatkan kesenangan tanpa ada yang disusahkan. Sebuah sikap dasar yang menumbuhkan empati, membunuh budaya egoisme, menang sendiri dan tak mau peduli. Kabarnya, itu yang disebut saleh dalam Agama: kebaikan dan kebenaran yang ketika diterapkan di dalam dialektika tatanan sosial — tak ada yang tersakiti.
Mendapatkan keuntungan tanpa ada yang dirugikan. Sikap dimana kesempatan eksploitasi tak diberi ruang sedikitpun. Jika sebuah transaksi (dalam arti luas) terjadi tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, outputnya adalah keikhlasan dan rasa bersyukur. Tanpa eksploitasi keadilan akan relatif lebih terjamin, dan kreativitas akan lebih terpacu (karena tak ada jalan pintas untuk mengambil keuntungan).
Tidak berprasangka tapi tetap waspada. Memberi kesempatan setiap orang untuk berbicara selengkap-lengkapnya dan memberikan haknya untuk dinilai secara obyektif. Seringkali kita seseorang harus menjadi tokoh dulu untuk didengarkan apa yang dia katakan. Padahal alangkah lebih baiknya kalau kita mendengarkan perkataan siapapun terlebih dahulu, baru memutuskan apakah dia seorang tokoh atau bukan.
Berfikir kekinian tanpa melupakan masa lalu dan merugikan masa depan. Pembalakan hutan, pembangunan real estate di area serapan air yang menimbulkan banjir kedepannya, sistem pendidikan baru, dst, membutuhkan parameter jelas untuk disikapi : apakah ditolak atau didukung. Mau belajar dari masa lalu, merevisi tindakan yang dilakukan sekarang untuk menuju masa depan yang lebih baik untuk semua. Budaya menganalisa sangat dibutuhkan untuk secara tepat menentukan langkah kedepan.
Berfikir global sebagai jenius-lokal. Kesadaran akan posisi kita pada pemetaan dunia tanpa meninggalkan ‘local-wisdom’ yang sudah terbangun dari peradaban ribuan tahun, akan memberi filter terhadap budaya yang masuk, memberi perspektif lebih luas kepada cara pandang kita sembari mengokohkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Kedaerahan yang Indonesiawi. Kemampuan menggali budaya lokal, mampu mengukur kemampuan potensi lokal, dalam skala frame pemikiran untuk akselerasi kemajuan Nasional.
Time is money. Bukan dari budaya kita kata-kata itu lahir. Jika money adalah ukuran keberhasilan, maka kita harus mendefinisikan kembali konsep itu yang sesuai dengan akar budaya kita. Katakanlah money sama dengan laba (profit dan benefit).
Laba ekonomi tidak menghilangkan laba kemanusiaan, laba sosial dan laba budaya. Kemapanan ekonomi yang kehilangan kemanusiaannya akan menimbulkan iri dan dengki. Keuntungan ekonomi yang melupakan nilai sosialnya akan menimbulkan kesenjangan dan keresahan. Keuntungan ekonomi yang meninggalkan budaya akan mereduksi manusianya menjadi manusia yang tak lagi mengenal kemesraan, kebersamaan dan etika. Manusia yang hanya terdefinisi dari jumlah uang yang ia miliki.
Waktu adalah laba, jika waktu tak pernah terbuang sia-sia. Meredefinisi arti kerja keras dan memberi ruang yang lebih luas pada proses-proses positif, kreatif, yang kadangkala tidak berhubungan langsung dengan proses ekonomi.
Keringat adalah laba, jika tak satu tetes keringatpun tersepelekan. Ketika setetes keringatpun dihargai, semua manusia berhak memiliki harga dirinya dari usahanya, bukan status sosialnya atau jumlah penghargaan yang mungkin pernah didapatnya.
Sikap adalah laba, jika berlaku kesadaran bahwa tidak ada hal terlalu remeh untuk dilakukan, sekecil apapun itu. Membangkitkan budaya saling menghargai. Tak ada hal yang dianggap sepele, dan tak ada yang punya hak untuk menyepelekan apapun dan siapapun.
Keadilan adalah laba. Pentingnya fairplay untuk menjamin kesetaraan kesempatan. Sudahkah kita mendomestikasi Demokrasi? Ataukah Demokrasi masih ‘binatang’ liar di negeri kita? Atau mungkin demokrasi perlu diberi “bumbu” untuk menjadi “barang dalam negri”.
Kebebasan berbicara dengan dilandasi kesantunan berbangsa. Dasar kesopan-santunan akan relatif memberi filter agar sebuah pesan yang akan disampaikan tidak menimbulkan ketegangan secara bahasa sebelum dicerna substansinya.
Kebebasan berpendapat dengan dilandasi kemaslahatan bersama. Seringkali kebebasan berpendapat digunakan untuk mengakomodasi perseteruan personal. Kita dipaksa menjadi penonton ‘pertarungan politik’ yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan bersama. Nilai ini akan memberi pagar pada hal-hal seperti itu. Kebebasan berekspresi yang mengekspresikan Indonesia. Paling tidak kita harus menjadi tuan di rumah sendiri.
Banyak nilai yang bisa kita anut. Banyak deklarasi yang bisa kita teriakkan. Tapi pertanyaan fundamentalnya adalah seberapa teguh konsistensi kita untuk bisa terus bertahan pada sebentuk nilai, minimal sampai titik waktu tertentu yang akan membawa perubahan yang mendasar. Sambil memastikan bahwa nilai-nilai ini tertular pada generasi penerus kita.
Saya tidak berpendapat bahwa itu semua ada manfaatnya bagi siapapun, tapi minimal saya bisa menghibur hati kecil saya sendiri bahwa “Tuan” nya ini mau belajar menjadi manusia dan mencoba “menjadi sebuah generasi”.
sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/blog/membangkitkan-kebangkitan-paradigma-baru-kemandirian/
HIDUP ADALAH PILHAN
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Rabu, 01 Agustus 2012 at 04.40
Hidup adalah pilihan. 2 sisi yang berbeda, tidak searah, dan bertolak
belakang.Masing-masing punya kekuatan dan kelemahannya. dan tidak ada
yang hanya memiliki segi positifnya saja.
Hidup seperti koin yang bersisi dua, setiap saat penuh dengan teka-teki dan misteri. Namun sebagai orang bijak, pilihan harus diambil dengan ketulusan hati nurani.....DAN JANGAN MENYESAL !!!!! karena tidak ada orang yang sukses di muka bumi ini, tanpa pilihan-pilihan hidup yang salah.
"Kami jadikan dua mata, mulut, dua bibir dan Kami buka dua jalan untuk dipilih" (QS 90:9-10). "Silakan mau beriman, silahkan mau kufur" (QS 18:29).
Rasulullah bersabda, "Semua umatku masuk Syurga kecuali yang tidak mau". "May ya'ba ya Rasulullah? "Siapa yang tidak mau ya Rasulullah", "Siapa yang mentaatiku maka masuk Syurga dan siapa yang durhaka kepadaku maka dia tidak mau masuk syurga".
hidup merupakan suatu pilihan tergantung dari orangnya mau memilih yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki diri kita sendiri. dalam suatu pilihan mengandung resiko entah itu resiko besar maupun kecil.
Mungkin dengan memegang wacana ini, kita mampu bangkit kembali disetiap kegagalan dan kesalahan pilihan dalam hidup kita. Karena tidak ada pilihan yang salah atau pun benar dalam hidup ini. Semua pilihan pasti ada hikmahnya......Sukses adalah rangkaian kebijaksanaan dalam hidup dan perbuatan. Dan Sukses adalah keberanian untuk memilih dan menjalankan pilihan tersebut.
Jadi jelaslah dengan akal sehat sudah tahu haq bathil, halal haram dengan segala akibatnya masing-masing, bukan tidak tahu, tetapi tidak mau. Mulai saat ini jangan lagi katakan, "aku belum mendapat hidayah tetapi katakanlah aku belum mau hidayah".
sumber :
http://www.andriewongso.com/awartikel-724-Artikel_Anda-Hidup_Adalah_Pilihan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/26/m67fwz-hidup-adalah-pilihan
Tag :
Agust Sarengatz
Hidup seperti koin yang bersisi dua, setiap saat penuh dengan teka-teki dan misteri. Namun sebagai orang bijak, pilihan harus diambil dengan ketulusan hati nurani.....DAN JANGAN MENYESAL !!!!! karena tidak ada orang yang sukses di muka bumi ini, tanpa pilihan-pilihan hidup yang salah.
"Kami jadikan dua mata, mulut, dua bibir dan Kami buka dua jalan untuk dipilih" (QS 90:9-10). "Silakan mau beriman, silahkan mau kufur" (QS 18:29).
Rasulullah bersabda, "Semua umatku masuk Syurga kecuali yang tidak mau". "May ya'ba ya Rasulullah? "Siapa yang tidak mau ya Rasulullah", "Siapa yang mentaatiku maka masuk Syurga dan siapa yang durhaka kepadaku maka dia tidak mau masuk syurga".
hidup merupakan suatu pilihan tergantung dari orangnya mau memilih yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki diri kita sendiri. dalam suatu pilihan mengandung resiko entah itu resiko besar maupun kecil.
Mungkin dengan memegang wacana ini, kita mampu bangkit kembali disetiap kegagalan dan kesalahan pilihan dalam hidup kita. Karena tidak ada pilihan yang salah atau pun benar dalam hidup ini. Semua pilihan pasti ada hikmahnya......Sukses adalah rangkaian kebijaksanaan dalam hidup dan perbuatan. Dan Sukses adalah keberanian untuk memilih dan menjalankan pilihan tersebut.
Jadi jelaslah dengan akal sehat sudah tahu haq bathil, halal haram dengan segala akibatnya masing-masing, bukan tidak tahu, tetapi tidak mau. Mulai saat ini jangan lagi katakan, "aku belum mendapat hidayah tetapi katakanlah aku belum mau hidayah".
sumber :
http://www.andriewongso.com/awartikel-724-Artikel_Anda-Hidup_Adalah_Pilihan
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/pojok-arifin-ilham/12/06/26/m67fwz-hidup-adalah-pilihan
Olahraga Sebagai Fenomena Sosial
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Jumat, 20 Juli 2012 at 19.06
Dalam kaitannya dengan olahraga sebagai fenomena
sosial dalam sosiologi olahraga ini sangat dikaitkan dengan perkembangan sosial
budaya manusia yang sehat jasmani dan rohani, hal ini merupakan pembentukan
perkembangan hubungan interaksi dengan masyarakat sekitar. Fenomena sosial ini
jika dipahami dan dimengerti bagi masyarakat luas maka akan memiliki peranan
yang sangat penting yaitu memberikan kepada semua lapisan masyarakat untuk
terlibat langsungdalam berbagai pengalaman belajar melalui interaksi dengan
sesama masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain baik itu dari lapisan
masyarakat yang pendidikannya rendah sampai masyarakat yang berpendidikan lebih
tinggi.
Dewasa ini perkembangan sosial budaya dalam olahraga
banyak fenomena sosial yang berpengaruh terhadap dinamika interaksi
sosial-budaya masyarakat. Hal itu sejalan dengan perkembangannya olahraga akan
terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak
pendapat para tokoh pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban
manusia. Terkait tentang arti pentingnya pendidikan bagi manusia yang mempunyai
kesehatan secara lahiriah maupun rohaniah. Pendidikan sebagai suatu proses
pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga
dan Sosiologi olahraga jika dipahami dan dimengerti bagi masyarakat luas maka
akan memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada semua
lapisan masyarakat untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar
melalui aktivitas jasmani, olahraga dan bersosial antar masyarakat yang satu
dengan masyarkat yang lain. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk
membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus
membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat. Pendidikan memiliki
sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya
pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas
jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang
secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Olahraga sebenarnya merupakan suatu bagian dari
ilmu-ilmu sosial. Hal ini ditunjukkan, didalam pendidikan olahraga dan ilmu
pengetahuan olahraga adalah pendekatan bio-medical, dan sebagai kegiatan
organis tubuh manusia saja (STO, 1976), yaitu menurut pendekatan yang selama
ini mendominasi pengetahuan olahraga, maka prestasi-prestasi para atlet itu
ditentukan oleh kondisi fisik yang sempurna semata-mata (Lueshen, 1998). Kalau
dijabarkan, maka menurut pendekatan ini, faktor-faktor yang menentukan suatu
prestasi dari suatu kegiatan olahraga dari para atlet itu adalah dimulai dari
faktor-faktor kondisi organis dari tubuh yang dianggap paling menentukan ke
kepribadian dan sosial, dan lalu faktor-faktor kebudayaan.
Didalam kenyataan, justru yang terjadi adalah
sebaliknya, yaitu suatu prestasi olahraga yang hebat tidaklah semata-mata
ditentukan oleh suatu prestasi olahraga yang hebat tidaklah semata-mata
ditentukan oleh suatu kondisi fisik yang sempurna tetapi bahkan sebaliknya
ditentukan oleh suatu jumlah kontrol yang merupakan sebagian dari struktur
sosial yang ada dalam suatu masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian,
kalau dijabarkan maka urutan-urutan dari suatu prestasi olahraga terjadi dari
kebudayaan yang merupakan faktor yang paling menentukan ke faktor faktor
sosial, lalu ke kepribadian dan yang terakhir adalah faktor-faktor organik dari
tubuh atlet yang bersangkutan. Dalam tulisan ini, yang akan diuraikan olahraga
sebagaimana dilihat dari pandangan ilmu-ilmu sosial, dan khususnya hubungan
antara olahraga dengan masyarakat dan kebudayaan. Dan pentingnya studi-studi
tentang olahraga bagi perkembangan teori-teori ilmu-ilmu sosial dan bagi kepentingan-kepentingan
praktis.
Berbicara tentang sosiologi olahraga kaitanya dengan
olahraga sebagai fenomena sosial, maka yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah hubungannya dengan perkembangan interaksi masyarakat atau anak didik
dalam mengembangkan
sosialisasi perkembangan olahraga. Perkembangan pendidikan manusia akan
berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu,
pendidikan akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh pendidikan yang kemudian berdampak
terhadap peradaban manusia. Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara
timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga
pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral,
intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya
dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya
dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir. Sejalan dengan pendidikan yang penulis
uraikan diatas maka dalam sejarah dan perkembangan pendidikan olahraga di
Indonesia penulis dapat menarik suatu garis yang kian lama kian menanjak. Masyarakat
Indonesia yang dinamis akan mengakui bahwa persekutuan hidup itu hidup dan
tidak hanya mengalami pengaruh pikiran dan kemampuan manusia individu saja
bahkan juga mengalami pengaruh zaman dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern
seperti sekarang ini. Olahraga memberi kesempatan yang sangat baik untuk
menyalurkan tenaga dengan jalan yang baik di dalam lingkungan persaudaraan dan
persahabatan untuk persatuan yang sehat dan suasana yang akrab dan gembira.
Tetapi kini kita menghadapi kubu-kubu yang kuat baik yang merupakan alam
pikiran, sikap hidup, tradisi dan kebiasaan yang semuanya adalah peninggalan
penjajahan ditambah dengan feodalisme semenjak 350 tahun yang lalu. Dan
kadang-kadang kubu-kubu itu tidak dapat kita lihat tetapi dapat kita rasakan karena
sembunyi di dalam diri manusia. Karena itu kita harus menyelami alam pikiran
pandangan dan sikap seseorang untuk dapat membantu dia membuang sisa-sisa
penjajahan yang masih bersarang dalam dirinya untuk secara sadar membantu
gerakan olahraga.
Dalam hal ini prestasilah yang memegang peranan dan
merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Prestasi
yang kita miliki selain mengangkat nama dan mengharumkan derajat bangsa
Indonesia di dunia, suatu prestasi yang tinggi oleh seorang olahragawan
Indonesia dapat membangkitkan dalam diri warga Negara, rasa bangsa yang
sebesar-besrnya, semangat kebangsaan yang menyala-nyala dan jiwa persatuan yang
sehebat-hebatnya sehingga terbangkit kekuatan-kekuatan baru pada dirinya dan
mempunyai hasrat yang benar untuk ikut di dalam gerakan keolahragaan. Dalam
dunia keloahragaan banyak kaitannya dengan bagaimana cara beradaptasi dan
berinteraksi dengan lingkungan, Maka ilmu pendidikan sosiologi harus di fahami
dan diterapkan oleh masyarakat terutama para olahragawan.
kiai kanjeng & caknun kuncine lawang swargo
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Rabu, 11 April 2012 at 23.22
pendidikan jasmani
Posted by Sdn 1 tumbang langkai on Selasa, 27 Maret 2012 at 20.34
PENDAHULUAN
Pendidikan
yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang
maju, modern dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa
mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera
adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu.
Sementara itu, pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru
yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Tujuan
utama diterapkannya program sertifikasi guru, termasuk terhadap guru pendidikan
jasmani, adalah meningkatkan kualitas guru sehingga kualitas pendidikan semakin
meningkat. Faktor guru diyakini memegang peran yang sangat strategis dalam
upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru
yang berkualitas berpengaruh besar terhadap efektivitas pembelajaran (Suherman,
2007; Rink, 2002) dan pada gilirannya mempengaruhi prestasi anak didik
(Siedentop & Tannehill, 2000). Keberadaan guru yang bermutu merupakan
syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sejumlah
negara, misalnya Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat,
berusaha mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang
berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan adalah intervensi langsung
menuju peningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru
yang memadai dengan melaksanakan sertifikasi guru.
PEMBAHASAN
Pendidikan Jasmani
Pendidikan Jasmani, yang dalam kurikulum disebut secara paralel dengan
istilah lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, merupakan
salah satu mata pelajaran yang disajikan di sekolah, mulai dari SD sampai
dengan SMA. Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara
keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani,
keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial,
penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, pola hidup sehat dan
pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani terpilih yang
direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (CDC,
2000; Disman, 1990; Pate dan Trost, 1998).
Pengalaman gerak yang didapatkan siswa dalam Pendidikan Jasmani merupakan
kontributor penting bagi peningkatan angka partisipasi dalam aktivitas fisik
dan olahraga yang sekaligus juga merupakan kontributor penting bagi
kesejahteraan dan kesehatan siswa (Siedentop, 1990; Ratliffe, 1994; Thomas and
Laraine, 1994; Stran and Ruder 1996; CDC, 2000). Untuk itu tidak mengherankan,
peningkatan kualitas dan efektivitas proses belajar mengajar (PBM) Pendidikan
Jasmani selalu menjadi fokus perhatian semua pihak yang peduli terhadap
pendidikan.
Peran Guru dalam Pembelajaran
Untuk dapat manjalankan proses pembelajaran Pendidikan Jasmani
sebagaimana diuraikan di atas secara lebih baik, maka seorang guru harus mampu
memerankan fungsi mengajar pada saat menjalankan pembelajarannya. Fungsi
mengajar adalah fungsi guru dalam proses belajar mengajar. Penggunaan istilah
ini ditujukan agar guru terfokus pada tujuan perilaku yang ditampilkannya pada
saat mengajar daripada hanya sekedar terfokus pada perilaku mengajarnya itu
sendiri. Siedentop (1991) mengemukakan tiga fungsi utama guru pada saat
melakukan pembelajaran sebagai berikut, “three major functions occupy most of
the attention of physical educators as they teach: managing students, directing
and instructing students, and monitoring/supervising students”
Managing students merujuk para perilaku verbal maupun nonverbal yang
ditampilkan guru untuk tujuan mengorganisir, merubah aktivitas belajar,
mengarahkan formasi atau peralatan, memelihara rutinitas baik yang bersifat
akademis maupun non akademais termasuk pengelolaan waktu transisi. Directing
and instructing students meliputi demonstrasi, eksplanasi, feedback kelompok,
dan kegiatan penutup. Monitoring merujuk pada perilaku observasi guru terhadap
siswa secara pasif, sedangkan supervising merujuk pada perilaku guru yang
ditujukan untuk memlihara siswa tetap aktif belajar seperti mengarahkan,
mengingatkan, dan memberikan feedback perilaku sosial (behavioral interactions)
maupun penampilan belajar siswa (skill interactions).
Sementara itu, Rink (1993) menjelaskan fungsi guru dalam proses belajar
mengajar secara lebih rinci lagi ke dalam tujuh kegiatan sebagai berikut,
“identifying outcomes, planning, presenting tasks, organizing and managing the
learning environment, monitoring the learning environment, developing the
content, and evaluating”.
Walaupun kedua pendapat ahli tersebut berbeda secara kuantitas, namun keduanya
sama-sama merujuk pada esensi dari proses pembelajaran Pendidikan Jasmani.
Pendapat pertama lebih menekankan pada fungsi pokok proses pembelajaran, yaitu
pada saat menjalankan siklus Movement Task-Student Response to Task hingga
fungsi lainnya seperti persiapan mengajar tidak termasuk di dalamnya. Sedangkan
pendapat yang kedua lebih bersifat menyeluruh mulai dari kegiatan persiapan
(identifikasi hasil belajar dan perencanaan) hingga evaluasi terhadap proses
pembelajaran. Perbedaan ini masuk akal mengingat siklus Movement Task-Student
Response to Task merupakan bagian kritis dari proses pembelajaran sehingga
fungsi mengajar termasuk keterampilan mengajar (teaching skills) yang pokok
seringkali dikaitkan dengan peristiwa siklus ini.
Untuk dapat meraih proses pembelajaran yang lebih efektif, para guru
dapat memilih dan menggunakan berbagai teknik dan keterampilan mengajar secara
efektif. Keputusan mengenai teknik dan keterampilan mengajar bagaimana yang
akan dipilih untuk menampilkan fungsi mengajar bergantung pada apa yang
diketahui (what they know), apa yang diyakini (what they believe), minat
(interest), keterampilan (skills), dan kepribadian (personality) gurunya itu
sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep Ring (1993) mengenai fungsi mengajar
yaitu agar guru terfokus pada “tujuan” perilaku yang ditampilkannya pada saat
mengajar daripada hanya sekedar terpokus pada “perilaku” mengajarnya itu
sendiri.
Walaupun para guru memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan
berbagai teknik dan keterampilan mengajar, kriteria dan prinsip efektivitas
pembelajaran yang sifatnya umum masih tetap bisa dibuat, misalnya: penyampaian
tugas gerak yang baik membuahkan siswa memahami cara melakukannya demikian juga
tujuannya. Hal ini perlu diketahui oleh setiap guru sebagai alat untuk
mengevaluasi efektivitas proses pembelajaran yang dilakukannya. Demikian juga
berbagai teknik dan keterampilan mengajar perlu diketahui dan dimiliki para
guru agar dapat diterapkan dan disesuaikan dengan konteks tempat mereka
mengajar Pendidikan Jasmani.
Waktu Aktif Belajar Dan Jumlah Siswa Aktif (%) Dalam Pembelajaran Pendidikan
Jasmani
Secara umum, dari gambar di atas dapat dikatakan bahwa rerata proporsi
waktu aktif belajar gerak dan angka partisipasi siswa di atas 40% merupakan
indikator yang termasuk dalam katagori baik. Oleh karena kompetensi pedagogis
guru pendidikan jasmani termasuk kategori bagus. Namun demikian apabila
dianalisis berdasarkan masa kerja terlihat jelas bahwa semakin lama masa kerja,
maka semakin menurun kompetensi pedagogisnya. Kondisi yang demikian sudah
merupakan suatu ironi. Lazimnya, masa kerja berbanding lurus dengan kemampuan
yang dimiliki. Ada kemungkinan hal ini terjadi karena kurang efektifnya
mekanisme evaluasi dan supervisi pelaksanaan pembelajaran. Longgarnya sistem
tersebut seolah memberikan peluang bagi guru untuk melakukan tugas tidak
sebagaimana yang dituntut.
a.
Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional berkaitan dengan kemampuan guru dalam penguasaan
materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi ini diukur dengan
menggunakan angket yang berisi tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang diperoleh pada saat pre-service training dan in-service training. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kompetensi profesional pada saat pre-service, yakni
ketika mereka ada di perguruan tinggi dirasa masih sangat kurang, yakni sebesar
52,78% dan hanya 5,56% yang menyatakan memadai. Kondisi tersebut sungguh sangat
memprihatinkan. Jika pengetahuan dan keterampilan yang mereka dapatkan sebagai
bekal menjalankan profesi guru masih jauh dari apa yang diharapkan, bisa
dibayangkan bagaimana mereka dapat menjalankan tugas secara profesional. Sudah
barang tentu, hal ini menjadi catatan penting bagi Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) yang notabene mencetak calon-calon guru. Minimnya
pengetahuan yang diperoleh saat pre-service training tampaknya juga berpengaruh
pada keyakinan guru dalam menjalankan profesinya. Sebanyak 36,11% menyatakan
bahwa mereka merasa tidak layak menjalankan tugas mengajar secara profesional.
Mereka yang menyatakan cukup layak sebesar 55,56%, dan hanya 2,78% yang
menyatakan sangat layak. Ketika mereka ditanya bekal apa saja yang dirasa
kurang? Sebesar 22,73% menyatakan kekurangan dalam bidang keilmuan; 27,27%
merasa kurang dalam hal teaching skill; dan 25% menyatakan kekurangan dalam hal
substansi cabang olahraga. Bekal kompetensi yang dirasa kurang saat di
Perguruan Tinggi Logikanya, ketika bekal matakuliah dari perguruan tinggi
dirasa masih sangat kurang, mestinya para guru diberi kesempatan seluas-luasnya
untuk akses terhadap upaya peningkatan kompetensi profesionalnya. Sayangnya,
hal itu tidak terjadi. Justru dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa 83,33%
mereka menyatakan sangat kurang mendapatkan akses. Sebanyak 13,89% menyatakan cukup
dan 0% menyatakan memadai. Ironi memang! Tetapi itulah realitas yang terjadi.
b.
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merujuk pada kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara umum cukup memadai, tetapi yang
menyedihkan adalah masa kerja berbanding terbalik dengan kompetensi
kepribadian. Semakin lama masa kerja, semakin menurun kompetensi
kepribadiannya. Penurunan terjadi di semua aspek, mulai dari kejujuran,
kedisiplinan, keterbukaan, etos kerja, dan inovasi. Tampaknya, hasil ini linier
dengan kompetensi pedagogis sebagaimana dikemukakan di atas. Hal ini semakin
meneguhkan bahwa mereka, dalam hal ini guru pendidikan jasmani, kurang
mendapatkan pembinaan yang memadai. Perlu diberi catatan di sini bahwa guru
pendidikan jasmani merupakan komunitas dengan ciri khusus. Komunitas tersebut
memiliki solidaritas yang tinggi, ikatan moral yang longgar, dan pragmatis.
Solidaritas tanpa diikuti bimbingan moral memiliki kecenderungan untuk
melahirkan tindakan-tindakan yang dari perspektif kepribadian kurang terpuji.
Misalnya karena alasan pertemanan rela melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kejujuran, kedisiplinan, dan keterbukaan. Demikian juga
dengan semangat pragmatisme yang mengedepankan prinsip ”pokoknya jalan” pada
gilirannya cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap
etos kerja dan inovasi.
c.
Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar Bagaimana dengan kompetensi
sosial? Sebagaimana yang terjadi pada kompetensi kepribadian terjadi pula pada
kompetensi sosial. Penjelasan yang diberikan pada kompetensi kepribadian dapat
juga diterapkan pada konteks kompetensi kepribadian.
Gambaran Penggunaan Waktu oleh Guru Pendidikan Jasmani
Persoalan lain terkait dengan kondisi kualitas guru pendidikan jasmani
adalah bagaimana mereka menggunakan waktu. Penggunaan waktu merupakan cerminan
bagaimana seseorang mengisi hidupnya dengan aktivitas-aktivitas yang berdampak
bagi dirinya.
Menurut Jansen (1995), secara garis besar penggunaan waktu dibagi ke
dalam tiga kategori besar, yakni waktu untuk kebutuhan dasar (existence time),
waktu produktif (subsistence time), dan waktu rekreatif (free time) yang
masing-masing secara berturut-turut alokasinya adalah 10 jam, 9 jam, dan 5 jam.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan waktu guru pendidikan
jasmani relatif optimal, apalagi terkait dengan penggunaan waktu produktif.
Bagaimana halnya dengan penggunaan waktu yang terkait dengan peningkatan
profesionalisme? Dari data lapangan ditemukan bahwa angkanya sebesar 0,7 jam
atau 42 menit per hari pada kelompok subjek masa kerja lima tahun ke bawah.
Sementara itu pada kelompok subjek masa kerja sepuluh tahun ke atas sebesar 0,4
jam atau 24 menit per hari.
Dari data tersebut dapat dibayangkan bagaimana peningkatan pengetahuan
yang diperoleh. Yang jelas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi jika
dalam waktu tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal. Kondisi yang demikian
tentu sangat memprihatinkan, mengingat banyaknya waktu yang digunakan oleh
seseorang untuk mengerjakan sesuatu merupakan indikator penting bagaimana orang
yang bersangkutan berkomitmen kepada profesinya.
KESIMPULAN
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas guru pendidikan jasmani
masih sangat memprihatinkan, terutama pada kompetensi profesional, kepribadian,
dan sosial. Secara lebih khusus dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Kompetensi
pedagogik guru pendidikan jasmani relatif optimal dilihat dari waktu aktif
belajar gerak dan angka partisipasi siswa dalam pembelajaran.
2. Kompetensi
profesional pada saat pre-service maupun in-service dirasa masih sangat kurang.
3. Kompetensi
kepribadian guru relatif tinggi. Kompetensi kepribadian guru dipengaruhi oleh
masa kerja, semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi kepribadiannya.
4. Kompetensi
sosial guru relatif tinggi. Kompetensi sosial guru dipengaruhi oleh masa kerja,
semakin lama masa kerja semakin menurun kompetensi sosialnya.
Gambaran penggunaan waktu dalam sehari, sebanyak 8,5 jam untuk kebutuhan
dasar; 12,05 jam untuk kegiatan produktif; dan 3,45 jam untuk kegiatan
rekreatif. Dan Pemanfaatan waktu untuk pengembangan profesionalisme guru
pendidikan jasmani masih relatif rendah, yakni antara 24-42 menit per hari.
Guru dengan masa kerja rendah cenderung memanfaatkan waktu untuk pemenuhan
kebutuhan dasar, sementara itu guru dengan masa kerja lama cenderung
memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang bersifat produktif.