Kamis, 1 Juli kemarin, Cak Nun diminta berceramah pada acara Temu
Tani & Nelayan Nasional yang diselenggarakan oleh Majelis
Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyyah bertempat di P4TK Matematika
Yogyakarta. Topik yang diberikan kepada Cak Nun adalah “Budaya Agraris
di Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok.
Di hadapan sekitar 120 peserta yang terdiri atas unsur-unsur
Muhammadiyyah dan perwakilan petani dan nelayan, Cak Nun mengatakan,
“Sudah pasti saya tidak paham masalah pertanian. Tetapi yang saya akan
kemukakan nanti justru terkait dengan strategi Muhammadiyyah.”
Menariknya, sebelum sampai ke poinnya, Cak Nun juga bercerita tentang
sejarah agraris di Indonesia dikaitkan dengan kiprah Sunan Kalijogo.
Sesuatu yang jarang diperhatikan orang. Pada mulanya kerajaan Majapahit
yang dalam versi yang diperkenalkan Cak Nun ada kemungkinan berpusat di
Sidoarjo. Waktu itu, di wilayah Sidoarjo, terjadi deformasi tanah akibat
pergerakan lempeng bumi dari wilayah pegunungan Kendeng Pati dan
seterusya hingga ke Sidoarjo, sehingga tanah di Sidoarjo mengandung
lumpur. Ini berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas pertanian
di Majapahit. Majapahit pun kemudian mengalami kemunduran.
Peralihan dari kemunduran Majapahit menuju tahap sejarah selanjutnya
dikawal oleh Sunan Kalijogo. Menurut Cak Nun, Sunan Kalijogo adalah
seorang pendekar dan strateg sehingga ia bisa meyakinkan para petinggi
Majapahit bahkan mereka bisa masuk Islam, bahkan juga Brawijaya V ikut
masuk Islam. Kependekaran dan kestrategan inilah yang membuat Sunan
Kalijogo mampu mengintegrasikan budaya agraris Majapahit dengan budaya
pesisir Pantai Utara.
Peralihan ini terbagi ke tiga arah. Pertama ke Demak. Kedua, ke
daerah Cetho dekat Gunung Lawu, dan ketiga, ke Selatan (Sabdopalon
Nyogenggong). Peralihan ini bisa dikatakan sebagai eksperimentasi dari
budaya agraris ke budaya pesisir, meskipun ini hanya berhasil selama
beberapa tahun saja. Terutama wilayah Mataram yang tetap saja agraris,
karena pantai Selatan bukanlah wilayah persentuhan dengan dunia global,
sebagaimana Pantura.
Sejarah itu berlanjut hingga datangnya kolonial Belanda dengan
VOC-nya, disambung politik etis kultur stelsel Van Deventer yang membuka
politik tertutup agraris dengan dunia budaya global, sampai dipertegas
kembali oleh kebijakan politik Pak Harto pada 1968 melalui kebijakan
politik terbuka (dengan perjanjian 30 tahun pasar bebas). Hingga saat
ini tiba pada masa—istilah Cak Nun—ultraliberalisme. Cak Nun memberi
contoh bahwa banyak sawah-sawah yang tidak lagi dimiliki para petani
atau orang setempat. Tambak-tambak juga banyak yang dimiliki oleh orang
luar daerah. Juga mall-mall. Maka Cak Nun berpesan bila memang
Muhammaddyyah hendak nyunggi wakule petani dan nelayan janganlah
gembelengan.
“Kita dikepung oleh ultraliberalisme. Pertanyaannya sekarang adalah
apakah kita punya kedaulatan. Ada dua pilihan bagi Muhammadiyyah.
Pertama, dengan kekuatan dan kohesi jaringannya yang berskala nasional,
apakah Muhammadiyyah akan memilih kedaulatan itu, sekurang-kurangnya
kedaulatan bisa dilakukan di kalangan Muhammadiyyah sendiri, tanpa
“mengganggu” negara. Umpamanya, para petani Muhammadiyyah menjual hasil
pertaniannya (padi, beras, dll) ke kelas menengahnya Muhammadiyyah, dan
seterusnya. Kedua, karena titik-titik menyangkut pertanian terletak pada
kebijakan pemerintah, maka Muhammadiyyah harus berpikir dan bekerja
keras untuk melahirkan pemimpin nasional yang punya konsern dan
perjuangan pada soal pertanian ini. Jika memilih pilihan ini, maka sejak
sekarang Muhammadiyyah harus mencanangkannya sejak sekarang. Dengan
kata lain, ambil kedaulatan pangan itu,” papar Cak Nun.
Lebih jauh Cak Nun menegaskan, “Jadi, Muhammadiyyah akan membikin
konsep integrated farming saja, semacam kegiatan LSM, ataukah akan
menegakkan kedaulatan pangan nasional dengan menyiapkan kepemimpinan
nasional yang perlu disiapkan sejak sekarang, yang manakah yang akan
dipilih? Diskusi ini sendiri akan berorientasi ke mana? Berorientasi
pada yang pertama saja juga sangat oke dan saya bisa memafhumi, tetapi
jika memilih yang kedua sangat bagus, dan inilah sebenarnya yang perlu
digagas dalam Muktamar seabad Muhammadiyyah kali ini.”
Rangkaian acara temu tani dan nelayan nasional ini sendiri juga dalam
rangka menyambut dan menyemarakkan Muktamar seabad Muhammadiyyah yang
digelar di Yogyakarta 3-8 Juli 2010. Dalam rangkaian Muktamar itu
sendiri, Cak Nun dan KiaiKanjeng juga diminta terlibat dalam sejumlah
perhelatan Mukatamar, di antaranya persembahan musik KiaiKanjeng,
mengiringi tari kolosal flashlamp Collosal dance Didik Nini Thowok,
berkolaborasi dengan Orkestra Dwiki Darmawan, pada acara tanggal 3 malam
di stadion Mandala Krida, serta nanti akan dua kali bermaiyahan dengan
muktamirin.
sumber :
http://www.kiaikanjeng.com/liputan/dari-sunan-kalijogo-ke-kedaulatan-pangan/
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar