Budaya Sepak Bola Indonesia

on Rabu, 30 Maret 2011

PENDAHULUAN
Pada sekarang ini budaya suporter sepak bola Indonesia semakin merajalela itulah yang menyebabkan persepakbolaan Indonesia sering dianggap rusuh (kotor). Apalagi dengan fasilitas pengamanan yang kurang, kapasitas yang minim, ketidaktegasan menjatuhkan hukuman untuk suporter yang berbuat rusuh. Semua dari beberapa faktor tadi dapat menjadikan kesadaran pada diri suporter berkurang sehingga mampu menjadikan suporter berbuat anarkis.
Dalam menganalisis semua pengaruh terjadinya kerusuan persepakbolaan Indonesia, media elektronik sering memberitakan tentang oknum-oknum supporter di berbagai daerah. Efek dari kerusuhan atau aksi anarkis biasanya berakhir dengan adanya kecaman atau tudingan bahwa pimpinan dari Kelompok Suporter tersebut telah gagal mengendalikan massa anggotanya.
ISI KAJIAN
Dalam menganalisis semua faktor kerusuan persepakbolaan Indonesia, Sudah saatnya pertandingan demi pertandingan dalam olahraga dihadirkan guna memberi kenikmatan yang menghibur. Bukan malah menjadi gelanggang para preman jalanan yang hanya gemar mengecer perilaku destruktif dan anarkis. Bukan hanya kerusakan infrastruktur dan fasilitas publik, tragedi itu telah merugikan dan mengancam keselamatan insan pers. Fatkhul Alamy, Anarkisme sebagian supporter (oknum), layak digolongkan sebagai tindakan premanisme yang membahayakan bagi siapapun. Penggunaan bahasa yang tidak ditimbang dengan baik dapat memanipulasi realitas sehingga berpotensi menimbulkan persepsi keliru dan berakhir dengan aktualisasi destruktif. Penggunaan bahasa dalam olahraga adalah salah satu contohnya. Dengan sedikit pengamatan pada bahasa yang digunakan dalam berita atau siaran olahraga, kita akan dengan mudah menemukan bahwa metafora kekerasan telah merasuk ke dalamnya. Dan Berbuat anarkis dalam pertandingan sepak bola  di indonesia sudah menjadi wajar karena suporter indonesia selalu diselimuti atmosfer gelap. Tak sedikit yang menilai, fenomena suporter sepak bola indonesia merupakan resistensi terhadap kisruhnya persepakbolaan Indonesia secara komunal. media cetak dan media televisi pun selalu kerap bernada jelek. Ketakbecusan organisasi induk itu melahirkan “perlawanan” arus bawah. Alih-alih menjadi wadah pembinaan, PSSI justru memberikan teladan buruk, berupa perilaku melawan hukum, yang, anehnya, betah dipelihara dan ditutup-tutupi pengurusnya sendiri. Salah satunya, menolak merevisi pedoman dasar agar sesuai status FIFA serta cenderung mengamankan posisi ketua umum, yang jelas-jelas cacat di mata hukum.
Ini cermin dari kurang 'dewasa'-nya segelintir supporter kita, yang masih berpikiran sempit dalam mendukung tim kesayangan. Fanatisme dan Harapan yang berlebih terhadap tim kesayangan, tanpa melihat kenyataan yang terjadi dalam tim yang didukungnya justru akan semakin mendorong terjadinya sikap anarkis jika tim kesayangan menderita kekalahan. Semestinya suppoter harus berusaha memahami betul kondisi tim pada saat teraktual : mungkin terlalu banyak pemain kunci yang cidera, kualitas pemain pengganti yang tidak sebanding dengan pemain reguler, faktor kelelahan yang menerpa sebagian besar pemain (terutama jika setelah melakukan pertandingan away yang cukup jauh), hingga kualitas pelatih yang kurang mumpuni. Hal-hal seperti ini mustinya dipahami oleh supporter tim, dan justru sebaiknya supporter bisa memberikan dukungan atau masukkan ke pihak klub mengenai hal ini. Dukungan supporter akan lebih mempunyai efek positif bagi mental tim jika diberikan justru pada saat tim sedang terpuruk.
Namun ada faktor-faktor lain diluar faktor kurang 'dewasa'nya sebagian supporter yaitu : buruknya manajemen liga, masih kurangnya stok wasit yang berkualitas, standar keamanan stadion-stadion di Indonesia yang rata-rata dibawah standar keamanan yang di syaratkan FIFA, dan adanya contoh buruk yang ditunjukkan oleh sebagian pengurus organisasi sepakbola di Indonesia(PSSI) yang masih mempunyai orientasi mencari keuntungan dari organisasi dan bukan memberikan peruntungan bagi organisasi.
Kebanyakan kondisi stadion di Indonesia masih kurang memenuhi syarat untuk menggelar laga besar tingkat internasional. Fasilitas pengamanan yang minim, kapasitas terbatas, lokasi yang terlalu dekat ke pusat kota dan kurangnya fasilitas pendukung lainnya.
Artikel ini berhubungan dengan pertanyaan yang saya tulis karena fasilitas pengamanan yang minim, kapasitas terbatas dan lokasi yang dekat ke pusat kota mudah mnimbulkan kerusuhan antar suporter. Seperti yang terjadi antara The jakmania dengan Aremania yang terjadi di Stadion Brawijaya. STADION Brawijaya Kediri pada 16 Januari menjadi saksi bisu kebrutalan Aremania. Kelompok suporter yang dikenal santun dan pernah menjadi suporter terbaik itu tiba-tiba menjadi beringas. Asisten wasit Sumarman menjadi korban pemukulan suporter Arema yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan wasit.
Belum puas, Aremania melanjutkan aksinya dengan membakar gawang dan fasilitas lain di stadion home base Persik Kediri ini. Bahkan, amukan ini juga menjalar hingga keluar stadion. Inilah awan kelabu pertama pada 2008 yang menimpa sepakbola nasional.
Hal itu seolah mengulang kejadian ketika kelompok suporter Persebaya Surabaya, Bonekmania, mengamuk usai pertandingan babak 8 besar Copa Indonesia 2006. Tidak puas dengan hasil pertandingan, mereka merusak stadion dan membakar beberapa mobil di luar stadion.
Sebelumnya, pada medio Maret 2007 kerusuhan juga mewarnai Liga Indonesia ketika Persija Jakarta bertandang ke Persikota Tangerang. Meski tidak ada korban jiwa, sejumlah suporter mengalami luka-luka dan tiga kendaraan Pemkot Tangerang hancur.
Rentetan demi rentetan kerusuhan yang menghiasi lembaran pelaksanaan Liga Indonesia seakan-akan menguatkan stigma bahwa sepakbola nasional rentan kerusuhan.
Namun pandangan ini ditampik berbagai pihak, terutama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Badan Liga Indonesia (BLI) sebagai otoritas tertinggi sepakbola nasional dan penyelenggara liga Indonesia.
Ketua BLI Joko Driyono menyatakan, kerusuhan yang terjadi dalam suatu pertandingan sepakbola tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab BLI. Menurutnya, tanggung jawab BLI hanya untuk menyelenggarakan liga, sedangkan pertandingan sendiri menjadi tanggung jawab panitia pelaksana setempat.
''Saat pertandingan berlangsung, semuanya sudah menjadi tanggung jawab dari panitia pelaksana yang berkoordinasi dengan petugas keamanan. Perangkat pertandingan seperti wasit dan hakim garis juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Harusnya baik pemain, klub, dan suporter dapat menghormati keputusan yang dibuat oleh wasit dan hakim garis,'' kilahnya.
Dari sisi suporter, sudah barang lazim fanatisme suporter klub sepakbola Indonesia seperti menjadi gejala sosial yang berujung pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia saat ini yang erat berkait dengan kefrustrasian dan keterpurukan. Hitam putih dunia suporter Indonesia selalu berkelindan dan bertumpang tindih dengan hiruk pikuk kompleksitas bangsa Indonesia dalam segala hal yang mencakup politik, budaya, pendidikan dan ekonomi. Sepakbola Indonesia memang terlanjur identik dengan keterbelakangan, keterpurukan dan dijejali kaum pinggiran, sebuah simbolisasi kaum yang paling frustrasi dalam hierarki sosiologis di Indonesia. Pilihan sebagai pesepakbola lebih sering didasari atas minimnya kesempatan di bidang lain yang lebih menjanjikan. Ketika dunia pendidikan tidak cukup bersahabat dengan dirinya atas kondisi ketakberpihakan dan ketakberdayaan biaya, maka sepakbola adalah pilihan yang sangat menjanjikan untuk melihat hari di depan kalau tidak mau terus menerus berdekatan dengan ketakberpihakan. Sayangnya dunia sepakbola yang menjadi harapan tidak banyak memberikan kesempatan dalam mencapai tujuan ini.
Dalam sisi lain, menjadi suporter fanatik adalah cara untuk melepaskan diri dari persoalan sehari-hari dan pelarian dari rasa frustrasi berkepanjangan sebagai bangsa selain sebagai cara-cara untuk aktualisasi identitas dan kebutuhan terhadap pencitraan. Satu hal lagi, ajang suporter juga menjadi salah satu wadah lanjutan dari konflik kehidupan sehari-hari yang terkait pelik dengan keterdesakan demografis dan ekonomi sehingga apa yang terjadi dalam lingkungan suporter sepakbola selalu persis dengan apa yang terjadi di kehidupan bangsa Indonesia. Keterdesakan demografis dan ekonomi yang saya maksud adalah penduduk Indonesia yang terus tumbuh dimana hal ini menyebabkan kondisi saling sikut dan saling kompetisi untuk bertahan sekedar survive sementara hal ini tidak berbarengan dengan kesempatan ekonomi. Pada titik limit kompetisi, aksi tipu-menipu, kriminalitas, penjarahan, tawuran, intoleransi menjadi warna sehari-hari dan dapat diperankan secara persis di dunia suporter sepakbola. Suka tidak suka, fenomena Bonek adalah satu contoh. Berbagai kerusuhan antarsuporter yang selama ini sering terjadi menegaskan potret buram atas latarbelakang sekaligus gejala sosial yang memangku kehidupan bangsa Indonesia secara umum. Kerusuhan dan keributan seolah sudah menjadi paket yang disiapkan dari rumah dan akan diperankan dalam menonton sepakbola nantinya.
Penggunaan bahasa yang tidak ditimbang dengan baik dapat memanipulasi realitas sehingga berpotensi menimbulkan persepsi keliru dan berakhir dengan aktualisasi destruktif. Penggunaan bahasa dalam olahraga adalah salah satu contohnya. Dengan sedikit pengamatan pada bahasa yang digunakan dalam berita atau siaran olahraga, kita akan dengan mudah menemukan bahwa metafora kekerasan telah merasuk ke dalamnya.
Ungkapan-ungkapan ofensif, seperti "membantai, menghancurkan, menggilas, menggebuk, mematahkan, atau membungkam lawan" adalah ekspresi yang kerap kali digunakan untuk memberitakan bahwa sebuah tim atau seseorang mengalahkan atau unggul atas lawannya. Mungkin sang pembuat berita hendak memberi kesan dramatis bahwa tim atau orang tersebut menang telak atau meyakinkan, tetapi tidak menyadari bahwa pihak yang dikalahkan akan membawa realitas olahraga ke dalam imajinasi kekerasan.
Pemilihan metafora di atas adalah cara yang tepat untuk menempatkan yang kalah sebagai pihak teraniaya, sedangkan yang menang adalah pembunuh berdarah dingin yang membantai korbannya, backhoe yang menghancurkan atau menggilas tenda kaki lima atau perumahan kumuh, segerombolan preman yang menggebuk dan mematahkan kaki seterunya, atau seorang perampok/pemerkosa yang membekap mulut korbannya.
Pertandingan/perlombaan olahraga adalah kegiatan yang menjunjung sportivitas, saat di mana peserta menguji kemampuannya dengan jujur, mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, dan menerima kemenangan atau kekalahan sebagai suatu kewajaran. Namun, nilai kejujuran dan logika itu dapat terkontaminasi bila kekalahan dinilai sebagai sesuatu yang memalukan, pihak yang kalah dianggap pecundang, atau yang terkorbankan. Karena itu, ungkapan "mempermalukan atau memecundangi lawannya", atau "menelan korban", adalah contoh penggunaan bahasa yang overdosis.
Aroma kebencian juga tercium dalam kosa kata, "partai balas dendam, duel maut" atau "tim A bentrok dengan musuh bebuyutannya". Para pemain, pelatih, dan para suporter dipersepsikan menuju arena peperangan (battle field), bukannya lapangan pertandingan, untuk berduel dengan musuh dan menuntaskan dendamnya. Untuk mengalahkan musuh, seseorang tidak memerlukan aturan. Dia dapat melakukan apa saja, dengan cara yang amat licik sekalipun, untuk membinasakan musuh dan menuntaskan dendamnya. Apakah spirit ini yang hendak dihidupi dalam olahraga? Tentu saja tidak.
Sudah saatnya bagi insan pers, khususnya mereka yang berkecimpung di bidang olahraga, untuk menakar bahasa jurnalismenya. Bahasa ternyata tidak hanya sekadar menyampaikan informasi kepada para pembaca/pendengar, tetapi ikut membentuk bagaimana mereka memersepsikan dan membentuk realitas yang dialaminya.
Sebutan boleh berbeda, isinya tetap sama. Itu kalimat yang rasanya tepat untuk menggambarkan perubahan nama liga sepak bola kita, dari sebelumnya "Liga Djarum" menjadi "Djarum Liga Super Indonesia 2008." Namanya boleh dibumbui kata "super." Namun, yang terjadi tetap gelaran liga yang sarat problem, mulai dari klub-klub yang miskin karena benar-benar hanya bergantung pada pendanaan APBD, anarkhisme suporter, sampai yang terkini: izin pertandingan.
Senin (28/8), laga Persija Jakarta versus PersitaTangerang yang dijadwalkan berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, terpaksa batal. Pasalnya, Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya tidak memberikan izin keramaian kepada Persija. Polisi enggan memberi izin karena dinyatakan ada kerawanan bentrok antar suporter, dan itu berkaca kepada pengalaman perilaku anarkhis suporter Persija di Stadion Lebak Bulus, GBK, dan juga di Stadion Benteng, Tangerang.
Ada masukan yang perlu dipertimbangkan Polda Metro maupun Persija. Bagi Polda, ancaman bentrok sesederhana apapun tak akan mampu mereka atasi, jika pengamanan laga tetap dilakukan secara konservatif. Mengapa konservatif? Sebutan itu layak ditudingkan ke polisi karena pengamanan selama ini hanya berorientasi ke dalam lapangan. Singkatnya, hanya menyiagakan polisi di sekeliling lapangan. Padahal, jika dicermati, potensi keributan antar suporter atau perilaku anarkhisme, bersumber dari tribune penonton (terutama yang "dihuni" suporter klub tuan rumah).
Seharusnya, polisi menyiagakan sejumlah petugas juga di seputaran tribun, yang sewaktu-waktu mereka bisa meminta bala bantuan di tribun yang berpotensi menyebabkan kericuhan. Bagi Persija, ini peristiwa ini bisa menjadi bahan introspeksi penting agar mereka serius membenahi perilaku suporter.
Direktur Umum PT Persija Jaya, Bambang Sutjipto menuturkan, ia sudah sering mengadakan forum silaturahmi suporter untuk menyosialisasikan ide-ide anti kekerasan dan urgensi sportivitas. Namun, itu belum cukup. Perlu dipertanyakan, sejauh mana jangkauan forum-forum itu? Jika hanya di seputar koordinator lapangan (korlap) "Jakmania", maka jelas itu kurang maksimal.
Sebab, sejauh ini, yang sering menjadi biang keributan adalah massa "Jakmania" di tataran terbawah. Merekalah yang kerap melempar botol minuman berisi air kotor ke tribun di bawahnya, atau mencegat mobil bak terbuka di jalan-jalan protokol, sehingga meresahkan pengguna jalan lain.
Pemkot Kediri geger. Bendahara sekaligus Asisten Manajer Persik Kediri Bidang Keuangan Suryadi ditemukan menggelepar di Sekretariat Persik Jl Diponegoro 7. Dia diduga bunuh diri dengan cara meminum cairan antinyamuk merek Baygon.
Lelaki 48 tahun itu pertama kali ditemukan tak sadarkan diri oleh staf sekretariat Persik sekitar pukul 03.00. Tubuhnya menggelepar di salah satu kamar.
Di kamar belakang sebelah timur secretariat Persik, tercium bau cairan tersebut yang menyengat. Di dekat kasur terdapat bekas cairan yang diduga muntahannya. Satu botol cairan antinyamuk merek Baygon kemasan satu liter ditemukan di sela spring bed dan lemari. Ada pula sandal dan kaus Suryadi yang masih tertinggal.
Suryadi terlibat di kepengurusan Persik sejak lama. Sejak Persik masih berada di level divisi III pada 1999. Sejak saat itu Suryadi terus jadi pengurus teras hingga saat ini. Dia merupakan kepercayaan Ketua Umum H Achmad Maschut. Khususnya yang terkait dengan urusan keuangan klub.
Keterlibatan Suryadi di sepak bola juga disebabkan kecintaannya pada olahraga ini. Suryadi adalah mantan pemain. Walaupun dia bukan pemain profesional. Lelaki kelahiran Nganjuk ini juga menjadi salah satu tokoh di balik fenomena kebangkitan Persik. Selain jadi pengurus, Suryadi adalah asisten manajer bagian keuangan. Dia pun pernah menjadi pejabat harian manajer tim. Tepatnya ketika Manajer Persik saat itu dipegang oleh Achmad Maschut.
Sementara di pemerintahan, karir Suryadi juga lumayan. Saat ini dia menjadi kepala sub bidang aparatur pemerintahan di Badan Pengawas Kota (Bawaskot) Kediri. Dia pindah ke Bawaskot saat terjadi mutasi di awal tahun ini. Sebelumnya, Suryadi adalah staf di bagian keuangan pemkot.
Sebelum ditemukan tak sadarkan diri, kemarin, Selasa (19/8) lalu Suryadi sempat menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi (Kejati), Surabaya. Dia dimintai keterangan atas posisinya sebagai bendahara sekaligus asisten manajer bidang keuangan Persik. Keterangannya diperlukan terkait kasus pemindahan dana hibah poltek senilai Rp 4,2 miliar ke Persik.
Apakah pemeriksaan itu yang membuatnya tertekan? Polisi masih menyelidikinya. Jika benar, ini bakal menambah daftar pejabat pemkot yang nekat mengakhiri hidupnya dengan dugaan tekanan kasus. 4 Februari lalu, Edi Wijanarko, kasubbag perbendaharaan Bagian Keuangan Pemkot, ditemukan tewas gantung diri di rumahnya. Sebelumnya, dia juga pernah diperiksa kejati terkait kasus dugaan penyelewengan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan 2007.
Untuk diketahui, kejati saat ini sedang memeriksa kasus pemindahan dana hibah poltek untuk operasional Persik. Kasus itu terendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sejumlah pejabat sudah diperiksa.
Mereka adalah Direktur Poltek yang juga mantan Sekkota Muh. Zaini, Ketua Harian Persik yang juga mantan Ketua DPRD Antonius Rachman, Kabag Keuangan Pemkot Suprapto, Kabag Pembangunan Pemkot Budi Siswantoro, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Widodo, Kepala DKLH Rachno Irianto, dan Suryadi.
(sumber: Jawapos Radar Kediri)
Persik Kediri, meskipun tidak mempunyai sejarah besar di sepakbola Indonesia, pada enam tahun terakhir ini menjadi salah satu klub papan atas di Indonesia. Dengan suporter tidak sedikit, seharusnya klub ini bisa diarahkan menuju klub profesional. Ironisnya, pada Indonesia Super League (ISL) ini, gegap gempita Persikmania bisa jadi sebagai alat politik Maschut atau Iwan Budianto yang akan maju sebagai Cawawali Kediri 2009-2014.
Sayangnya, ketika beberapa klub sedang menuju ke arah profesional dengan membentuk PT (seperti Persija atau Sriwijaya FC), bahkan PKT Bontang, Pelita Jaya dan Arema Malang sudah murni profesional sebagai sebuah klub sepakbola, (pengurus) Persik masih berkubang di tempat kotor yang sudah usang.
Semoga langkah profesional Arema Malang, Pelita Jaya, dan PKT Bontang yang disusul PT Persija dan Sriwijaya FC juga diikuti oleh klub-klub lain, termasuk Persik Kediri, dan tidak ada lagi kasus percobaan bunuh diri Suryadi di klub-klub lain.
Jayalah Sepakbola Nasional
KESIMPULAN
Secara lebih spesifik, kita di sini bicara soal norma dan nilai, dua hal yang menjadi dasar pembentukan kode moral sebuah budaya, sistem-sistem simbol di mana perilaku diberi label “ baik”, “buruk”, “benar”, atau “salah”. Dengan begitu, satu perilaku hanya disebut sebagai penyimpangan (deviance) atau normal jika kita mengetahui siapa pelakunya dan dalam konteks sosial atau budaya.

Ranking: 5

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar

 
© Berbagi Ilmu Olahraga | All Rights Reserved
Designed ByImuzcorner | Powered ByBlogger | RealMadrid CF Blogger Template ByFree Blogger Template